DASAR-DASAR ILMU POLITIK
BAB I PENDAHULUAN
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan makalah dengan judul
Dasar-dasar Ilmu Politik dapat berjalan tanpa halangan yang berarti, dari awal sampai selesai.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun
menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan
makalah ini banyak kekurangannya. Namun makalah yang disajikan sedikit
banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada
umumnya.
Dalam kesempatan ini disampaikan terima kasih atas bimbingan, bantuan serta saran dari berbagai pihak.
Ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai ilmu yang
ada. Meskipun beberapa cabang ilmu pengetahuan yang ada telah mencoba
melacak asal-usul keberadaannya hingga zaman yunani kuno, akan tetapi
hasil yang dicapai tidak segemilang apa yang telah sicapai oleh ilmu
politik. Ketika kita menggunakan istilah ideology baik dalam bahasa
social, politik maupun wacana kehidupan sehari-hari, berarti kita
menggambarkan sebuah konsep yang memiliki sejarah panjang dan kompleks.
Dalam makalah kami akan memaparkan tentang dasar-dasar ilmu politik.
A. Latar belakang
Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu bentuk
aktualisasi dari proses demokratisasi. Keinginan ini menjadi sangat
penting bagi masyarakat dalam proses pembangunan politik bagi
negara-negara berkembang, karena di dalamnya ada hak dan kewajiban
masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya adalah berlangsung dimana
proses pemilihan kepala negara sampai dengan pemilihan walikota dan
bupati dilakukan secara langsung. Sistem ini membuka ruang dan membawa
masyarkat untuk terlibat langsung dalam proses tersebut.
Di Indonesia pemilihan kepala daerah langsung merupakan sejarah
terhadap proses demokratisasi yang berlangsung setelah adanya reformasi.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan titik awal yang bagus
bagi terciptanya proses demokratisasi di negara kita, karena sistem ini
sangat menghargai partisipasi politik masyarakat. Dalam sistem poitik
kita hari ini yang sedang berlansung dimana proses pemilihan kepala
negara (presiden) sampai dengan pemilihan walikota dan bupati di lakukan
secara langsung, sistem ini membuka ruang dan membawa masyarakat untuk
terlibat langsung dalam proses tersebut.
B. Tujuan
Untuk menciptakan modernisasi politik maka dibutuhkan partisipasi
politik masyarakat. Apalagi Indonesia saat ini sedang melakukan
pembangunan politiknya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi baik
sistemnya maupun manusianya. Partisipasi politik masyarakat sangat
berpengaruh atas hasil-hasil yang akan di capai dalam proses pemilihan.
Partisipasi menurut Samuel P. Hutington dan Jean Nelson adalah
“…kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara, individu-individu
dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah…”
Partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah terlihat jelas peran serta dan partisipasi
masyarakat dalam proses politik. Untuk itu partisipasi dan pembangunan
politik dari masyarakat merupakan prasyarat terhadap proses
demokratisasi. Dukungan yang efektif bagi suatu pergeseran yang besar
dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi atau sosial biasanya berasal
dari partisipasi kolektif yang terorganisasi yang dapat tampil dalam
berbagai bentuk.
Pertama, ia mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi bukan sikap-sikap
atau perilaku politik yang biasanya dipengaruhi oleh orientasi nilai
individu dan sebagainya.
Kedua, kegiatan politik warga negara perorangan-perorangan dalam
peranan mereka sebagai warga negara preman. Partisipasi politik mencakup
kegiatan pejabat-pejabat pemerintah, pejabat-pejabat partai,
calon-calon politik, dan looblyst profesional yang bertindak di dalam
peranan-pernan itu.
Ketiga, kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap
pejabat-pejabat umum, mereka yang pada umumnya diakui mempunyai wewenang
untuk mengambil keputusan yang final mengenai pengalokasian nilai-nilai
secara otoritatif di dalm pengelolaan sebuan perusahaan swasta agar
menaikan tingkat upah maksimum merupakan partisipasi politik.
Di Indonesia masyarakat hari ini mempunyai peran dan fungsi yang
besar dalam melakukan proses demokratisasi. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Lucian Pye bahwa
“salah satu unsur pembangunan politik dalam negara berkembang harus
adanya partisipasi dan ketertiban masyarakat dalam politik, baik dalam
proses pengambilan kebijakan maupun dalam proses politik yang lain”.
Partisipasi politik itu sendiri akan mendukung proses demokratisasi
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yaitu adanya keterbukaan, adanya
kebebasan dan adanya aturan main.
Dalam hal ini masyarakat seolah diberikan kebebasan dalam proses
partisipasi politik, maka untuk mewujudkan negara yang demokratis aakn
semakin mudah karena masyarakat akan semakin paham dan mengerti atas hak
dan kewajiban politiknya yang kemudian muncuk kemandirian dan
pembangunan politik yang sehat di negara berkembang, karena sesungguhnya
negara berkembang harus bisa memberikan pelajaran kepada masyarakat
tentang partisipasi politik dalam keranga pembangunan politik untuk
menciptakan domokratisasi sesuai dengan cita-cita masyarakat.
Pengaruh yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah bahwa dengan
partisipasi politik masyarakat juga akan mendorong kesadaran berpolitik
masyarakat, yang lebih penting bagi kehidupan politiknya adalah
masyarakat akan menjadi lebih cerdas dan terlatid dengan polihan-pilihan
politiknya sesuai dengan kepentingannya.
Proses-proses demokrasi dalam konteks ini seperti partisipasi lokal
sangat penting untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dinamis, damai
sejahtera dan mampu menyerap kepentingan masyarakat bawah.
C. Manfaat
Makalah ini di buat bertujuan untuk memperkenalkan Ilmu Politik
secara menyeluruh dan memberikan pemahaman dasar-dasar ilmu politik
serta berbagai masalah yang erat kaitannya dengan ilmu tersebut.
Memberikan kemampuan untuk mengenali dan memahami keadaan sosial dan
politik Indonesia yang ruang lingkupnya dimulai dengan munculnya zaman
modern. Masuknya paham liberal ke Indonesia mengubah struktur sosial
ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Untuk memberikan kerangka berpikir teoritis dalam memahami poiltik
internasional sebagai salah satu bagian terpenting dalam studi hubungan
internasional, tradisi-tradisi filosofis yang mendasari teori-teori
besar politik internasional saat ini, aspek
power dan ekonomi
politik dalam hubungan internasional, termasuk di dalamnya adalah
pembahasan mengenai berbagai macam pandangan teoritis terhadap peranan
ekonomi politik dalam hubungan internasional, perusahaan-perusahaan
multinasional (MNCs), masalah-masalah politik lingkungan hidup global
dalam hubungan internasional.
Untuk memahami ide-ide politik atau pemikiran politik secara umum
yang ada pada jaman klasik, jaman baru, sampai pada pemikiran politik
dewasa ini. Setiap pemikir politik dan ide pemikirannya dikupas dan
dihubungkan dengan pemikiran politik dewasa ini.
BAB II TOTAL SINOPSIS
Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu politik, maka perlu diketahui
lebih dulu apa itu politik. Secara etimologis, politik berasal dari
bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara
umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu
negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah
gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama
Plato dan
Aristoteles menamakannya sebagai
en dam onia atau
the good life.
Apabila
ilmu politik dipandang semata-mata sebagai
salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka,
fokus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu
politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada
tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti
sosiologi,
antropologi,
ekonomi, dan
psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka saling mempengaruhi.
Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih
luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek
negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh
lebih tua umurnya. Bahkan ia sering dinamakan ilmu sosial yang tertua di
dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada
sejarah dan filsafat.
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas
masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang
ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 Masehi dan
Babad Tanah Jawi. Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan
yang mencakup politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran
karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara
seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka
imperialisme.
Di negara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan Prancis
bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi
oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah negara
semata-mata. Bahasan mengenai negara termasuk kurikulum Fakultas Hukum
sebagai mata kuliah Ilmu Negara (
Staatslehre). Di Inggris
permasalahan politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral
philosophy, dan bahasannya dianggap tidak dapat terlepas dari sejarah.
Akan tetapi dengan didirikannya
Ecole Libredes Sciances Politiques
di Paris (1870) dan London School of Economics and Political Science
(1985) , ilmu politik untuk pertama kali di negara-negara tersebut
dianggap sebagai disiplin tersendiri yang patut mendapat tempat dalam
kurikulum perguruan tinggi. Namun demikian, pengaruh dari ilmu hukum,
filsafat dan sejarah sampai perang dunia II masih tetap terasa.
Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik
diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang
Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia
atau the good life (kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku
“A New Handbook of Political Science”,
politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara
paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber
paksaan itu serta cara menggunakan kekuasaan social dengan paksaan
tersebut.
Beberapa definisi berbeda juga diberikan oleh para ahli , misalnya:
- Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.
- Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.
- Dilain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu
politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga
prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N.
Gilchrist.
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
- Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma
politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi
dan politik sistematis.
- Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan
dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa
mengaitkannya dengan moral atau norma.
Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu
yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan
dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas
masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan
antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang
paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan
pengawasan.
Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat
peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman
Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan,
membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian
berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan
karakteristik tersendiri.
Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada
tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan
lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah
terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal
kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada
Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan,
misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi.
Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena
terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah
dari Barat.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada
abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu
politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu
sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia
II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan
untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri
pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan
dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu
tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya
berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American
Political Science Association pada 1904.
Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II berkembang lebih
pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih
didominasi oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan
awal ilmu politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum,
karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang,
konsep-konsep ilmu politik yang baru sudah mulai diterima oleh
masyarakat.
Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari segi
sejarah, filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah
keruntuhan komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan
ditambahnya pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di
negara-negara barat pada pendekatan tradisional.
Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan kuat beberapa
badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam
metodologi dan terminologi dalam ilmu politik, maka UNESCO pada
tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu politik di kira-kira 30 negara.
Kemudian, proyek ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan
buku Contemporary Political Science pada tahun 1948. Selanjutnya UNESCO
bersama International Political Science Association (IPSA) yang
mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping
India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini
dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun
oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science
dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini
diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk
ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua
karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan
mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.
Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan
penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi,
dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan
banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini,
wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu
yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Ilmu politik memiliki beberapa konsep. Konsep-konsep ini merupakan
hal-hal yang ingin dicapai dalam politik. Pada paper ini akan dibahas
tentang konsep-konsep tersebut, sumber kekuasaan, serta perbedaan antara
kekuasaan dan kewenangan, dengan beberapa sumber seperti buku dan
internet. Berikut pembahasannya secara ringkas.
1. Power (Kekuasaan)
Power sering diartikan sebagai kekuasaan. Sering juga diartikan
sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak yang digunakan untuk
memengaruhi pihak lain, untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemegang
kekuasaan. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesselshaft
menyatakan, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan.
Pernyataan ini menjadi rujukan banyak ahli, seperti yang dinyatakan
Harold D. Laswell dan A. Kaplan,” Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana
seseorang atau kelompok dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok lain kearah tujuan pihak pertama.”
Kekuasaan merupakan konsep politik yang paling banyak dibahas, bahkan
kekuasaan dianggap identik dengan politik. Harold D. Laswell dan A.
Kaplan dalam Power and Society: “
Ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.”
2. Authority (Kewenangan)
Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau
memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar
tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan
kekuasaan. Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor
kritis bagi efektevitas organisasi.
Kewenangan digunakan untuk mencapai tujuan pihak yang berwenang.
Karena itu, kewenangan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan. Robert
Bierstedt menyatakan dalam bukunya an analysis of social power , bahwa
kewenangan merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Seseorang yang
memiliki kewenangan berhak membuat peraturan dan mengharapkan kepatuhan
terhadap peraturannya.
3. Influence (Pengaruh)
Norman Barry, seorang ahli, menyatakan bahwa pengaruh adala suatu
tipe kekuasaan, yang jika seorang dipengaruhi agar bertindak dengan cara
tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun
ancaman sanksi terbuka bukan merupakan motivasi pendorongnya. Dengan
demikian, dapat dikatakan pengaruh tidak bersifat terikat untuk mencapai
sebuah tujuan.
Pengaruh biasanya bukan faktor satu-satunya yang menentukan tindakan
pelakunya, dan masih bersaing dengan faktor lainnya. Bagi pelaku masih
ada faktor lain yang menentukannya bertindak. Walaupun pengaruh sering
kurang efektif dibandingkan kekuasaan, pengaruh lebih unggul karena
terkadang ia memiliki unsur psikologis dan menyentuh hati, dan karena
itu sering berhasil.
4. Persuasion (Ajakan)
Persuasi adalah kemampuan untuk mengajak orang lain agar mengubah
sikap dengan argumentasi, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan
orang yang mengajak. Dalam politik, persuasi diperlukan untuk memperoleh
dukungan. Persuasi disini dilakukan untuk ikut serta dalam suatu
komunitas dan mencapai tujuan komunitas tersebut. Persuasi bersifat
tidak memaksa dan tidak mengharuskan ikut serta, tapi lebih kepada
gagasan untuk melakukan sesuatu. Gagasan ini dinyatakan dalam argumen
untuk memengaruhi orang atau kelompok lain.
5. Coercion (Paksaan)
Paksaan merupakan cara yang mengharuskan seseorang atau kelompok
untuk mematuhi suatu keputusan. Peragaan kekuasaan atau ancaman berupa
paksaan yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar
bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pemilik
kekuasaan.
Dalam masyarakat yang bersifat homogen ada konsensus nasional yang
kuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Paksaan tidak selalu
memengaruhi dan tidak tampak. Dengan demikian, di negara demokratis
tetap disadari bahwa paksaan hendaknya digunakan seminimal mungkin dan
hanya digunakan untuk meyakinkan suatu pihak.
Contoh dari paksaan yang diberlakukan sekarang adalah sistem
ketentuan pajak. Sifat pajak ini memaksa wajib pajak untuk menaati semua
yang diberlakukan dan apabila melanggar akan dikenai sanksi.
6. Acquiescence (Perjanjian)
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu pihak membuat janji
kepada pihak lain untuk melaksanakan satu hal. Oleh karena itu,
perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang melakukan
perjanjian. Perjanjian dilaksanakan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Acquiescence diartikan sebagai perjanjian yang disetujui tanpa protes.
Sumber-sumber Kekuasaan
Seorang yang memiliki sesuatu, tentu mempunyai sumber darimana ia
mendapatkan sesuatu tersebut. Demikian halnya dengan kekuasaan.
Kekuasaan datang dari berbagai sumber, diantaranya kedudukan, kekayaan,
dan kepercayaan. Seorang atasan dapat memerintahkan bawahannya agar
melakukan sesuatu. Jika bawahan melanggar perintah atasan, maka bawahan
bisa dikenai sanksi.
Seseorang yang memiliki kekayaan dapat memiliki kekuasaan. Misalnya
seorang konglomerat dapat menguasai suatu pihak yang didanainya.
Kepercayaan atau agama juga merupakan sumber kekuasaan. Misalnya di
Indonesia, alim ulama banyak dituruti dan dipatuhi masyarakat. Alim
ulama bertindak sebagai pemimpin informal umat, maka ia perlu
diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan di tempat umatnya.
Jack H. Nagel dalam bukunya The Descriptive Analysis of Power yang juga terdapat dalam buku Dasar-dasar
Ilmu Politik, perlu
dibedakan antara scope of power dan domain of power (wilayah
kekuasaan). Cakupan kekuasaan (scope of power) menunjuk kepada perilaku,
serta sikap dan keputusan yang menjadi subyek dari kekuasaan. Misalnya,
seorang direktur bisa memecat seorang karyawan, tetapi direktur
tersebut tidak mempunyai kuasa apa-apa terhadap karyawan diluar hubungan
pekerjaan.
Wilayah kekuasaan (domain of power) menjelaskan siapa-siapa saja yang
dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada
pelaku organisasi, atau kolektivitas yang kena kekuasaan. Misalnya
seorang direktur memiliki kekuasaan di perusahaannya, baik itu di pusat
ataupun di cabang-cabangnya.
Dalam suatu hubungan kekuasaan(power relationship) selalu ada pihak
yang lebih kuat daripada pihak lain. Hal ini menyebabkan hubungan tidak
seimbang(asimetris), dan ketergantungan satu pihak dengan pihak lain.
Semakin timpang hubungan ini, maka makin kuat ketergantungannya. Hal ini
disebut hegemoni, dominasi, atau penundukan oleh pemikir abad 20.
Perbedaan Power (Kekuasaan) dan Authority (Kewenangan)
Dalam pembahasan sebelumnya dinyatakan bahwa kewenangan berhubungan
dengan kekuasaan, tapi dari segi lain, ada perbedaan mendasar antara
keduanya. Salah satunya, kewenangan adalah kekuasaan secara formal yang
diberikan oleh organisasi, sedangkan kekuasaan berada diluar formalitas.
Kewenangan adalah salah satu cara bagi seseorang untuk memperkuat
kekuasaannya.
Kewenangan adalah kekuasaan namun kekuasaan tidak terlalu berupa
kewenangan. Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (
legitimate power ), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan.
Apabila kekuasaan politik di rumuskan sebgai kemampuan menggunakan
sumber-sumber untuk memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik, maka kewenangan merupakan hak moral sesuai dengan
nilai-nilai dan norma masyarakat, termasuk peratuaran
perundang-undangan.
Kewenangan merupakan hak berkuasa yang di tetapkan dalam struktur
organisasi sosial guna melaksanakan kebijakan yang di perlukan.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan merupakan
konsep yang paling banyak dibahas dalam ilmu politik, selain konsep
lainnya. Kekuasaan berasal dari beberapa sumber, misalnya kekayaan,
kedudukan, dan kepercayaan. Kekuasaan dan kewenangan adalah konsep yang
berhubungan, tetapi keduanya berbeda. Kewenangan merupakan kekuasaan
formal yang diberikan oleh organisasi, sedangkan kekuasaan berada diluar
formalitas.
Negara
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik, dan
merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Boleh dikatakan
Negara mempunyai dua tugas :
- Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang
asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, suapaya tidak
menjadi antagonisme yang membahayakan.
- Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan kea rah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada
tujuan nasinal.
Definisi-definisi mengenai Negara, antara lain adalah :
- Roger H. Soltau, “Negara adalah alat (agency
atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama, atas masyarakat (The state is an
agency or authority managing or controlling these (common) affairs
on behalf of and in the name of the community).
- Harold J. Laski, “Negara adalah suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a
society which is integrated by possessing a coercive authority
legally supreme over any individual or group which is part of the
society).
- Max Weber, “Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah (The state is a human society that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory)
- Robert M. Maciver, “Negara adalah asosiasi
yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam
suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa (The sate is an association which, acting through law as
promulgated by a government endowed to this end with coercive
power, maintains within a community territorially demarcated the
external conditions of oreder).
J. Barents dalam “Ilmu Politika” (1965) Ilmu Politik
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat: ilmu politik mempelajari negara-negara itu
melakukan tugas-tugasnya.
Harold D. Laswell dan
A. Kaplan dalam
Power and Soceity, “
ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, prose-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil”.
Dan beberapa pendekatan dalam Ilmu Politik antara lain :
a) Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar
dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk
apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada
penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam
kenyataan. Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya)
dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi
setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan
organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana
membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau
kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil.
Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah
pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah
negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara
oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang
dipilih rakyat lewat pemilihan umum.
Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana
menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di
sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif,
sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga
negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran
atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus
eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai
politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan
pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok
kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik
tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga
kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk
mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam
menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia
terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan
pelayanan publik.
b) Pendekatan Perilaku
Esensi kekuasaan adalah untuk kebijakan umum. tidak ada gunanya
membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Lebih bermanfaat bagi
peneliti dan pemerhati politik untuk mempelajari manusia itu sendiri
serta perilaku politiknya, sebagai gejala-gejala yang benar-benar dapat
diamati. Perilaku politik menampilkan regularities (keteraturan)
c) Neo-Marxis
Menekankan pada aspek komunisme tanpa kekerasan dan juga tidak
mendukung kapitalisme. Neo Marxis membuat beberapa Negara sadar akan
pentingnya persamaan tanpa kekerasan, akan tetapi komunisme sulit
dijalankan di beberapa Negara karena komunisme identik dengan kekerasan
dan kekejaman walaupun pada intinya adalah untuk menyamakan persamaan
warga negaranya di suatu Negara sehingga tidak ada yang ditindas dan
menindas terlebih lagi dalam bidang ekonomi.
Neo-Marxis juga menginginkan tidak adanya kapitalisme yang sering
dilakukan Negara Barat dalam hal ini Negara maju, karena kapitalisme
hanya mementingkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering kali
“menyengsarakan” rakyat pribumi karena orang-orang pribumi sering kali
hanya menjadi penonton atau pun menjadi korban dari kapitalisme ini.
Walaupun kapitalisme berhubungan dengan bidang ekonomi tetapi
kapitalisme juga berpengaruh dalam hal kebijakan politik yang dibuat
oleh Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang yang sering
dijadikan sasaran kapitalisme besar-besaran seperti Indonesia.
d) Ketergantungan
Memposisikan hubungan antar negara besar dan kecil. Pendekatan ini
mengedepankan ketergantungan antara Negara besar dan Negara kecil yang
saling keterkaitan sehingga satu sama lain saling bergantung, jadi
Negara besar bergantung pada Negara kecil baik dalam hal politik,
ekonomi dan dalam hubungan internasional dan sebaliknya sehingga satu
sama lain mempunyai posisi yang sama.
e) Pendekatan Pilihan Nasional
Pilihan-pilihan yang rasional dalam pembuatan keputusan politik.
Pendekatan pilihan nasional ini menekan kan bahwa pengambil kebijakan
atau pembuatan keputusan dilihat dari rasionalitas yang ada di Negara
tersebut agar bisa dijalankan oleh Negara dan tentu identitas
social-politik sangat diperlukan. Terdapatnya identitas sosial-politik
disebabkan adanya prilaku politik identitas guna mengembangkan
kelompok-kelompok. Prilaku ini seiring bertumbuh-kembangnya eksplorasi
kebudayaan di setiap kelompok guna “menemukan” kembali dan atau
melestarikan solidaritas identitas yang dimiliki. Eksplorasi tersebut
sangat bermanfaat bagi eksistensi kelompok identitas yang memiliki
jumlah besar (mayoritas).
BAB III KERANGKA KONSEP
- A. Sifat, Arti, dan Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Pengetahuan lainnya.
- Perkembangan dan definisi ilmu Politik
Apabila
ilmu politik dipandang semata-mata sebagai
salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka,
fokus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu
politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada
tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti
sosiologi,
antropologi,
ekonomi, dan
psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka saling mempengaruhi.
Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih
luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek
negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh
lebih tua umurnya. Bahkan ia sering dinamakan ilmu sosial yang tertua di
dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada
sejarah dan filsafat.
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas
masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang
ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 Masehi dan
Babad Tanah Jawi. Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan
yang mencakup politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran
karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara
seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka
imperialisme.
Di negara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan Prancis
bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi
oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah negara
semata-mata. Bahasan mengenai negara termasuk kurikulum Fakultas Hukum
sebagai mata kuliah Ilmu Negara (
Staatslehre). Di Inggris
permasalahan politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral
philosophy, dan bahasannya dianggap tidak dapat terlepas dari sejarah.
Akan tetapi dengan didirikannya
Ecole Libredes Sciances Politiques
di Paris (1870) dan London School of Economics and Political Science
(1985) , ilmu politik untuk pertama kali di negara-negara tersebut
dianggap sebagai disiplin tersendiri yang patut mendapat tempat dalam
kurikulum perguruan tinggi. Namun demikian, pengaruh dari ilmu hukum,
filsafat dan sejarah sampai perang dunia II masih tetap terasa.
•
Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science)
Adakalanya dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengetahuan (
science)
atau tidak, dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai
ilmu pengetahuan. Soal ini menimbulkan pertanyaan: apakah yang
dinamakan ilmu pengetahuan (
science) itu? Karakteristik ilmu pengetahuan (
science) ialah tantangan untuk menguji hipotesis melalui eksperimen yang dapat dilakukan dalam keadaan terkontrol (
controlled circumstances)
misalnya laboratorium. Berdasarkan eksperimen-eksperimen itu ilmu-ilmu
eksakta dapat menemukan hukum-hukum yang dapat diuji kebenarannya.
Jika definisi ini dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta
ilmu-ilmu sosial lainnya belum memenuhi syarat, karena sampai sekarang
belum ditemukan hukum-hukum ilmiah seperti itu. Mengapa demikian? Oleh
karena yang diteliti adalah manusia dan manusia itu adalah makhluk yang
kreatif, yang selalu didasarkan atas pertimbangan rasional dan logis,
sehingga mempersukar usaha untuk mengadakan perhitungan serta proyeksi
untuk masa depan. Dengan kata lain perilaku manusia tidak dapat diamati
dalam keadaan terkontrol.
•
Definisi Ilmu Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah
gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama
Plato dan
Aristoteles menamakannya sebagai
en dam onia atau
the good life.
Mengapa politik dalam arti ini begitu penting? Karena sejak dahulu
kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat
masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam, atau perlu
dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia
dan puas. Ini adalah politik.
Bagaimana caranya mencapai tujuan dengan berbagai cara, yang
kadang-kadang bertentangan dengan satu sama lainnya. Akan tetapi semua
pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai jika memiliki
kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan
itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan
menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang ada.
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dalam suatu negara (
state) berkaitan dengan masalah
kekuasaan (
power)
pengambilan keputusan (
decision making),
kebijakan publik (
public policy), dan
alokasi atau distribusi (
allocation or distribution). Politik adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan harta (
Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches).
Di bawah ini ada dua sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan konsensus.
- Menurut Rod Hague et al.: “politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya.
- Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah
kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan , dan
mengamandemenkan peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya,
yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai disebabkan karena
setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik.
Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang akan dipakainya untuk
meneropong unsur-unsur lain.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep-konsep itu adalah:
1. Negara (
state)
2. Kekuasaan (
power)
3. Pengambilan keputusan (
decision making)
4. Kebijakan (
policy, beleid)
5. Pembagian (
distribution)
•
Bidang-bidang Ilmu Politik
Dalam
contemporary Political Science, terbitan Unesco 1950, ilmu politik dibagi menjadi empat bidang.
1. Teori Politik
2. Lembaga-lembaga politik
3. Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum
4. Hubungan internasional
•
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Pengetahuan Lain
- Sejarah
Seperti diterangkan di atas, sejak dahulu kala ilmu politik erat
hubuganya dengan sejarah dan filsafat. Sejarah merupakan alat yang
paling penting bagi ilmu politik, oleh karena menyumbang bahan, yaitu
data dan fakta dari masa lampau, untuk diolah lebih lanjut.
- Filsafat
Ilmu pengetahuan lain yang erat sekali hubungannya dengan ilmu politik ialah filsafat.
Filsafat
ialah usaha untuk secara rasional dan sistematis mencari pemecahan atau
jawaban atas persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta
(universe) dan kehidupan manusia.
- Sosiologi
Di antara ilmu-ilmu sosial, sosiologi-lah yang paling pokok dan umum
sifatnya. Sosiologi membantu sarjana ilmu politik dalam usahanya
memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai
golongan dan kelompok dalam masyarakat.
- Antropologi
Apabila jasa sosiologi terhadap perkembangan ilmu politik adalah
terutama dalam memberikan analisis terhadap kehidupan sosial secara umum
dan menyeluruh, maka antrophology menyumbang pengertian dan teori
tentang kedudukan serta peran berbagai satuan sosial-budaya yang lebih
kecil dan sederhana.
- Ilmu Ekonomi
Pada masa silam ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan bidang ilmu
tersendiri yang dikenal sebagai ekonomi politik (political economy),
yaitu pemikiran dan analisis kebijakan yang hendak digunakan untuk
memajukan kekuatan dan kesejahteraan negara Inggris dalam menghadapi
saingannya seperti Portugis, Spanyol, Prancis, dan Jerman, pada abad
ke-18 dan ke-19.
- Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah pengkhususan psikologi yang mempelajari hubungan
timbal balik antara manusia dan masyarakat, khususnya faktor-faktor
yang mendorong manusia untuk berperan dalam ikatan kelompok sosial,
bidang psikologi umumnya memusatkan perhatian pada kehidupan perorangan.
- Geografi
Faktor-faktor yang berdasarkan geografi, seperti perbatasan strategis, desakan penduduk, daerah pengaruh mempengaruhi politik.
- Ilmu Hukum
Terutama negara-negara Benua Eropa, ilmu hukum sejak dulu kala erat
hubungannya dengan ilmu politik, karena mengatur dan melaksanakan
undang-undang merupakan salah satu kewajiban negara yang penting.
Cabang-cabang ilmu hukum yang khususnya meneropong negara ialah hukum
tata-negara (dan ilmu negara).
B. KONSEP-KONSEP POLITIK
Konsep politik lahir dalam pikiran (mind) manusia dan bersifat
abstrak. Konsep digunakan dalam menyusun generalisasi abstrak mengenai
beberapa phenomena, yang disebut sebagai teori. Berdasarkan
pengertiannya, teori politik bisa dikatakan sebagai bahasan dan
generalisasi dari phenomena yang bersifat politik.
Menurut Thomas P. Jenkin dalam
The Study of Political Theory, teori politik dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Norms for political behavior, yaitu teori-teori yang mempunyai dasar moril dan norma-norma politik. Teori ini dinamakan
valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan antara lain filsafat politk, teori politik sistematis, ideologi, dan sebagainya.
b. Teori-teori politik yang menggambarkan dan membahas phenomena dan
fakta-fakta politk dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai
(non valuational), atau biasa dipakai istilah “value free” (bebas
nilai). Biasanya bersifat deskriptif dan berusaha membahas fakta-fakta
politk sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan
dalam generalisasi-generalisasi.
Teori-teori kelompok (a) dibagi menjadi tiga golongan :
- Filsafat politik (political philosophy), yaitu mencari
penjelasan berdasarkan ratio. Pokok pikiran dari filsafat politik
ialah persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta harus
dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami
sehari-hari dapat ditanggulangi.
- Teori politik sistematis (systematic political
theory), yaitu mendasarkan diri atas pandangan-pandangan yang sudah
lazim diterima pada masanya. Dengan kata lain teori ini hanya
mencoba merealisasikan norma-norma dalam suatu program politik.
- Ideologi politik (political ideology), yaitu himpunan
nilai-nilai, ide, norma, kepercayaan dan keyakinan, yang dimiliki
seorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problema politk yang dihadapinya dan
yang menentukan tingkah lakunya.
II. Masyarakat
Manusia mempunyai naluri untuk hidup bersama orang lain secara
bergotong-royong. Manusia memilih jalan untuk mengorganisir
bermacam-macam kelompok dan asosiasi untuk memenuhi keperluan dan
kepentingan-kepentingan fisik maupun mental yang sukar dipenuhi sendiri.
Dan dalam kehidupan berkelompok ini, pada dasarnya manusia menginginkan
nilai-nilai.
Dalam mengamati masyarakat, khususnya masyarakat Barat,
Harold Laswell memperinci delapan nilai, yaitu :
- Kekuasaan
- Pendidikan/Penerangan (enlightenment)
- Kekayaan (wealth)
- Kesehatan (Well-being)
- Keterampilan (Skill)
- Kasih Sayang (affection)
- Kejujuran (rectitude) dan Keadilan (rechtschapenheid)
- Keseganan (respect).
Masyarakat, menurut
Robert Maciver, adalah suatu system hubungan-hubungan yang ditertibkan (Society means a system of ordered relations). Menurut
Harold J. Laski
dari London School of Economics and Political Science, masyarakat
adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk
mencapai keinginan-keinginan mereka bersama (A society is a group of
human beings living together and working together for the satisfaction
of their mutual wants).
III. Negara
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik, dan
merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Boleh dikatakan
Negara mempunyai dua tugas :
- Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang
asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, suapaya tidak
menjadi antagonisme yang membahayakan.
- Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan kea rah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada
tujuan nasinal.
Definisi-definisi mengenai Negara, antara lain adalah :
- Roger H. Soltau, “Negara adalah alat (agency
atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama, atas masyarakat (The state is an
agency or authority managing or controlling these (common) affairs
on behalf of and in the name of the community).
- Harold J. Laski, “Negara adalah suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a
society which is integrated by possessing a coercive authority
legally supreme over any individual or group which is part of the
society).
- Max Weber, “Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah (The state is a human society that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory)
- Robert M. Maciver, “Negara adalah asosiasi
yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam
suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa (The sate is an association which, acting through law as
promulgated by a government endowed to this end with coercive
power, maintains within a community territorially demarcated the
external conditions of oreder).
Negara mempunyai sifat-sifat, antara lain adalah :
a) Sifat Memaksa,
b) Sifat Monopli,
c) Sifat mencakup semua
Unsur-unsur Negara, antara lain adalah :
a) Wilayah
b) Penduduk
c) Pemerintah
Menurut
Roger H. Saltau, tujuan Negara ialah
memungkinan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya
sebebas mungkin (the freest possible development and creative
self-expression of its members). Dan menurut Harold J. Laski, tujuan
Negara ialah menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal (creation of those
conditions under which the members of the state may attain the maximum
satisfaction of their desire).
Tujuan dan fungsi Negara
Tujuan Negara R.I sebagai tercantum dalam UUD 1945 : Untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadialn social.
Terlepas dari ideologinya, Negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu :
- Melaksanakan penertiban (law and order)
- Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
- Pertahanan
- Menegakkan keadilan
Charles E. Merriam menyebutkan lima fungsi Negara, yaitu : Keamanan ekstern, Ketertiban intern, Keadilan, Kesejahteraan umum, dan Kebebasan.
IV. Kekuasaan
Kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah-laku sesorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga
tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan social menurut
Ossip K. Flechtheim adalah
keseluruah dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang
menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang
ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (Social power is the sum total of all
the capacities, relationship, and process by which compliance of others
is secured for ends determinded by the power holder).
Ossip K. Flechtheim membedakan dua macam kekuasaan politik, yakni :
- bagian dari kekuasaan sosial yang terwujud dalam Negara (state
power), seperti lembaga-lembaga pemerintahan DPR, Presiden, dan
sebagainya.
- bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada Negara.
Definisi yang dieberikan oleh
Robert M. Maciver :
Kekuasaan social adalah
kemampuan untuk mengendalikan tingakah-laku orang lain, baik dengan
cara langsung dengan memberi perintah, mamupun tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Social power is the
capacity to control the behavior of others either directly by fiat or
indirectly by manipulation of available means).
Robert M. Maciber mengemukakan bahwa kekuasaan dalam
suatu masyarakat berbentuk piramida. Ini terjadi karena kenyataan bahwa
kekuasaan yang satu membuktikandirinya lebih unggul dari pada yang
lain, yang berarti bahwa kekuasaan yang satu itu lebih kuat dengan jalan
mengkoordinasi keuasaan yang lain.
Kekuasaan yang paling penting adalah kekuasaan politik. Pengertian
kekuasaan politik
adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah)
baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujun-tujuan
pemegang kekuasaan sendiri.
Referensi
http://manshurzikri.wordpress.com/2009/11/27/konsep-konsep-politik/
C. Berbagai pendekatan dalam Ilmu politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara (Wikipedia, 2009). Politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
tersebut (Rahmadani Yusran, ).
Roger F. Soltau dalam
“Introduction to Politic” (1961) Ilmu Politik mempelajari negara,
tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta
dengan negara-negara lain.
J. Barents dalam “Ilmu Politika” (1965) Ilmu Politik
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat: ilmu politik mempelajari negara-negara itu
melakukan tugas-tugasnya.
Harold D. Laswell dan
A. Kaplan dalam
Power and Soceity, “
ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, prose-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil”.
Dan beberapa pendekatan dalam Ilmu Politik antara lain :
a) Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar
dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk
apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada
penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam
kenyataan. Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya)
dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi
setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan
organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana
membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau
kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil.
Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah
pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah
negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara
oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang
dipilih rakyat lewat pemilihan umum.
Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana
menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di
sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif,
sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga
negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran
atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus
eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai
politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan
pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok
kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik
tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga
kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk
mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam
menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia
terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan
pelayanan publik.
b) Pendekatan Perilaku
Esensi kekuasaan adalah untuk kebijakan umum. tidak ada gunanya
membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Lebih bermanfaat bagi
peneliti dan pemerhati politik untuk mempelajari manusia itu sendiri
serta perilaku politiknya, sebagai gejala-gejala yang benar-benar dapat
diamati. Perilaku politik menampilkan regularities (keteraturan)
c) Neo-Marxis
Menekankan pada aspek komunisme tanpa kekerasan dan juga tidak
mendukung kapitalisme. Neo Marxis membuat beberapa Negara sadar akan
pentingnya persamaan tanpa kekerasan, akan tetapi komunisme sulit
dijalankan di beberapa Negara karena komunisme identik dengan kekerasan
dan kekejaman walaupun pada intinya adalah untuk menyamakan persamaan
warga negaranya di suatu Negara sehingga tidak ada yang ditindas dan
menindas terlebih lagi dalam bidang ekonomi.
Neo-Marxis juga menginginkan tidak adanya kapitalisme yang sering
dilakukan Negara Barat dalam hal ini Negara maju, karena kapitalisme
hanya mementingkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering kali
“menyengsarakan” rakyat pribumi karena orang-orang pribumi sering kali
hanya menjadi penonton atau pun menjadi korban dari kapitalisme ini.
Walaupun kapitalisme berhubungan dengan bidang ekonomi tetapi
kapitalisme juga berpengaruh dalam hal kebijakan politik yang dibuat
oleh Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang yang sering
dijadikan sasaran kapitalisme besar-besaran seperti Indonesia.
d) Ketergantungan
Memposisikan hubungan antar negara besar dan kecil. Pendekatan ini
mengedepankan ketergantungan antara Negara besar dan Negara kecil yang
saling keterkaitan sehingga satu sama lain saling bergantung, jadi
Negara besar bergantung pada Negara kecil baik dalam hal politik,
ekonomi dan dalam hubungan internasional dan sebaliknya sehingga satu
sama lain mempunyai posisi yang sama.
e) Pendekatan Pilihan Nasional
Pilihan-pilihan yang rasional dalam pembuatan keputusan politik.
Pendekatan pilihan nasional ini menekan kan bahwa pengambil kebijakan
atau pembuatan keputusan dilihat dari rasionalitas yang ada di Negara
tersebut agar bisa dijalankan oleh Negara dan tentu identitas
social-politik sangat diperlukan. Terdapatnya identitas sosial-politik
disebabkan adanya prilaku politik identitas guna mengembangkan
kelompok-kelompok. Prilaku ini seiring bertumbuh-kembangnya eksplorasi
kebudayaan di setiap kelompok guna “menemukan” kembali dan atau
melestarikan solidaritas identitas yang dimiliki. Eksplorasi tersebut
sangat bermanfaat bagi eksistensi kelompok identitas yang memiliki
jumlah besar (mayoritas). Disini, pendekatan politik terlihat dari
banyaknya dukungan para elit politik guna menggerakkan pertumbuhan
budaya dan kemudian sebagai “konsekuensi” logis untuk mendapatkan
dukungan dari kelompok identitas (simbiosis mutualisme).
Pendekatan politik kelompok akan menjadi sangat “berharga” untuk
diperebutkan. Mengapa demikian? Fenomena ini terjadi karena adanya
perebutan kekuasaan melalui cermin kebanggaan identitas yang lebih
cenderung pada etnisitas. Kecenderungan tersebut cukup beralasan, karena
masyarakat kita hari ini masih dalam tahap mencari “jati diri” sebagai
identitas sosial-politik. Jati diri yang paling mudah
didapatkan/dirasakan adalah identitas etnisitas yang sekaligus menjadi
perekat solidaritas sosial-politik. Perebutan kekuasaan ini tidak
semata-mata hanya berpijak pada “kontribusi” penguasa terhadap kelompok
yang diwakilinya, namun juga terhadap kelompok lain yang selama ini
menjadi bagian pendukung karena memiliki kesamaan identitas. Dari
analisa tersebut, jalan koalisi antar kelompok berbeda identitas belum
bisa dijadikan jaminan kesuksesan. Jaminan kesuksesan itu tidak muncul
karena tingkat eksistensi politik identitas menjadi sangat dominan di
negeri ini, sehingga kebanggan identitas akan terletak pada kelompok
identitas mana yang berada di puncak kekuasaan.
Beberapa Pendekatan Lain dalam kajian Ilmu Politik
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara
(abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku
politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai
unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan
Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu
serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari
behavioralisme. Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang
membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu
bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau
si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam
kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar
kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa
interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A.
Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar
kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd
Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak
top-down (mirip seperti Mills).
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa
fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh
struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang
duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan
Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi
(Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal
yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina,
Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah.
Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi,
tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa
Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu
atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang ‘mendadak’ kaya
akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai
perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar
menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca
perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan
ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut.
Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui
kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner,
mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi
politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam
“Political Order in Changing Society” pada tahun 1968. Karya ini
membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial
tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada
instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik
tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul
situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan
negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti
partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari
ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara
dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis
baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya
dalam buku “Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi
Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara ‘dunia ketiga’ adalah
akibat :
- modal asing
- perilaku pemerintah lokal yang korup
- kaum borjuis negara satelit yang ‘manja’ pada pemerintahnya
Frank menyarankan agar negara-negara ‘dunia ketiga’ memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat).
Referensi
http://gdpermana.blogspot.com/2009/12/pendekatan-pendekatan-dalam-ilmu.html
BAB IV PEMBAHASAN
Apa itu politik ? Secara retorik, Iwan Fals pernah
mempermasalahkanya: “Apakah selamanya politik itu kejam … ?” Memang pada
masa pemerintahan Mao Tse-tung pernah diterapkan kebijakan Revolusi
Kebudayaan. Dengan revolusi ini, setiap orang yang dicurigai berpikiran
liberal (Amerika Serikat sentris) akan ditahan, diinterogasi, disiksa,
bahkan dioper ke kamp-kamp kerja paksa untuk “membersihkan” otaknya. Hal
ini mirip dengan di masa Orde Baru, di mana orang-orang yang dianggap
terlibat Partai Komunis Indonesia “dibuang” ke kamp-kamp “pembersihan
otak” di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kedua keputusan baik di Cina
maupun Indonesia adalah bukti keputusan politik, dan itu terkesan kejam.
Namun, keputusan untuk menaikkan gaji guru, menaikkan Upah Minimun
Regional (UMR), atau kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah
dikatakan kejam? Atau keputusan politik untuk menggratiskan biaya
pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, masukkah ke dalam
kategori yang sama
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai kejam atau
tidak. Berbicara mengenai politik berarti membicarakan perilaku kita
dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, cara kita mengatasi sejumlah
perbedaan yang ada di antara kita. “Cara” bergantung pada siapa yang
menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara
yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai
“kejam” atau tidak “kejam”, dan satu bidang tersendiri di ilmu politik
membicarakan persoalan itu: Etika Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu
wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian
melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut
dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulainya, politik
selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal
politik tidaklah “kejam” seperti sering didengungkan orang.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota.
Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama
lain guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Manakala manusia mencoba
untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka
berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau
manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima
pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua
namai sebagai POLITIK.
[1]
Dengan demikian, kita dapat dikatakan tengah berpolitik ketika
mempengaruhi suami atau istri di rumah, bersaing dengan tetangga sebelah
rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau berdebat dengan supir angkot
bahwa ongkos yang ia terapkan terlampau mahal. Luas sekali pelajaran
politik jika demikian, bukan ?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah
the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan).
[2]
Di sini disebutkan “kekuasaan” sosial bukan “kekuasaan pribadi.”
Dalam zaman kaisar-kaisar Romawi, raja-raja di pulau Jawa, seorang
kaisar atau raja dapat saja menimpakan suatu hukuman mati pada seorang
abdi atau rakyat lewat “kemauannya” sendiri. Rakyat luas tentu tidak
sepakat dengan cara tersebut, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
menurut bukan karena setuju, tetapi karena takut.
Kekuasaan raja atau kaisar tersebut bukan kekuasaan sosial, tetapi
kekuasaan pribadi. Hanya satu orang yang menyepakati cara penghukuman,
bukan seluruh orang menyepakatinya. Sebaliknya, politik adalah kekuasaan
sosial dan sebagai kekuasaan sosial ia harus disepakati banyak orang
sebelum suatu cara diterapkan. Politik menghendaki negosiasi, dari
negosiasi baru dicapai kesepakatan. Dengan demikian, suatu kekuasaan
politik adalah kekuasaan yang disepakati banyak orang, bukan hanya
kemauan satu orang.
Ilmu Politik
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu
layaknya ilmu Biologi, Fisika, atau Ekonomi ? Jawabannya adalah bisa.
Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan ilmu.
Ilmu adalah “pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis,
obyektif, dan umum.” Metodis artinya menggunakan metode, cara, jalan
yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang dibicarakan. Sistematis
artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara
teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola
pengetahuan yang rasional. Obyektif artinya kebenaran dari hasil
pemikiran dari suatu bidang dapat memperoleh bobot obyektif (sesuai
kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri).
Dan akhirnya, umum, artinya tingkat kebenaran yang mempunyai bobot
obyektif tersebut dapat berlaku umum, di mana saja dan kapan saja.
[3]
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah “apa yang kita
peroleh dalam proses mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan
kegunaannya.”
[4]
Kita tahu bahwa sepeda beroda dua, manusia hidup mengalir darah dalam
tubuhnya, sinar matahari adalah panas, atau pemerintah menerapkan
kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa
itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana
sepeda yang cuma beroda dua tersebut dapat dikayuh seseorang dengan
seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya keputusan pemerintah untuk
menyelenggarakan wajib belajar? Dengan kalimat lain, pengetahuan tidak
berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu
obyek. Pengetahuan relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif
tersusun secara teratur. Ilmu dapat menambah pengetahuan, sementara
pengetahuan disistematisasikan oleh ilmu.
Ontologi Ilmu Politik
Secara sederhana, ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau
benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang
bagaimana “ontologi” itu dipelajari, dibangun. Aksiologi adalah untuk
apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan
aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya.
Aspek ontologi ilmu ekonomi misalnya adalah barang dan jasa. Aspek
ontologi ilmu sosial (sosiologi) adalah kekerabatan antarmanusia, dan
aspek ontologi ilmu fisika adalah materi serta gas. Ontologi berarti
obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu
politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga memiliki obyek-obyek kajian yang
spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek
ontologis ilmu politik, yaitu :
1. Negara (state)
Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
2. Kekuasaan (power)
Kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah
laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
3. Pengambilan keputusan (decision-making)
Keputusan (
decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternative pengambilan keputusan (
decision-
making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.
4. Kebijaksanaan umum (public policy)
Kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh
kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai
tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan untuk
melaksanakannya.
5. Pembagian (distribution)
Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang
diinginkan, sesuatu yang berharga. Pembagian dan penjatahan dari
nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata
dan karena itu menyebabkan konflik.
Epistemologi Ilmu Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun.
Dalam membangun suatu ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode
hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya saat membangun
suatu ilmu. Sebagai contoh, pada abad pertengahan, pelajaran mengenai
tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi
bumi. Artinya, pusat dari tata surya adalah bumi, bukan matahari.
Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan
pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan
sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun
berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam
konsep PENDEKATAN. Arti dari pendekatan adalah dari sudut mana serta
bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam mendidik anak,
orang tua biasanya mendekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez
Faire, dan Demokratis. Jika otoriter, orang tua hanya mau dituruti
pendapatnya oleh si anak, jika Laissez Faire cenderung
membebaskan/membiarkan, dan jika demokratis akan menjak dialog dua arah.
Pendekatan dalam ilmu politik pun terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Pendekatan tradisional
2. Pendekatan behavioral
3. Pendekatan post-behavioral
Taksonomi dari perbedaan atas masing-masing pendekatan adalah sebagai berikut :
[5]
Tradisional |
Behavioral |
Postbehavioral |
Mencampuradukkan fakta dengan nilai; Spekulatif |
Memisahkan fakta dengan nilai |
Fakta dan nilai bergantung pada tindakan serta relevansi antar keduanya |
Preskriptif dan normatif |
Nonpreskriptif, obyektif, dan empiris |
Bersifat kemanusiaan serta berorietasi masalah; Normatif |
Kualitatif |
Kuantitatif |
Kualitatif dan kuantitatif |
Memperhatikan keteraturan atau ketidakteraturan |
Memperhatikan keseragaman dan keteraturan |
Memperhatikan keteraturan atau ketidakteraturan |
Etnosentris; Fokus utamanya pada negara demokrasi Barat (AS dan Eropa) |
Etnosentris; Fokus utama pada model Anglo Amerika |
Fokus pada Dunia Ketiga |
Deskriptif, parokial, dan negara sentris |
Abstrak, konservatif secara ideologis, dan negara-sentris |
Teoretis, radikal, dan berorientasi perubahan |
Fokus utama pada struktur politik yang formal (konstitusi dan pemerintah) |
Fokus utama pada struktur serta fungsi kelompok-kelompok formal dan informal |
Fokus pada kelompok kelas dan konflik antarkelompok |
Historis atau ahistoris |
Ahistoris |
Holistik |
Ketiga pendekatan dalam ilmu politik memang dikategorisasi
berdasarkan periode. Pendekatan tradisional muncul terlebih dahulu
(sejak zaman Yunani Kuno) untuk kemudian secara berturut-turut, disusul
dua pendekatan setelahnya. Para pemikir politik seperti Plato atau para
ahli politik seperti Montesquieu, Jean Jacques Rousseau atau John Stuart
Mill mendekati permasalah politik dengan pendekatan tradisional. Pasca
Perang Dunia Kedua, muncul pendekatan Behavioral yang coba memisahkan
fakta dengan nilai dalam menganalisis permasalahan politik. Para
teoretisi seperti David Easton, David E. Apter atau Gabriel A. Almond
adalah contohnya.
Saat pendekatan Behavioral dinilai tidak lagi “sensitif” di dalam
menganalisa gejala politik, pada tahun 1960-an muncul pendekatan
Postbehavioral. Teoretisi seperti Andre Gunder Frank, Cardoso, atau di
Indonesia Arief Budiman (?) mencoba menganalisis gejala politik secara
lebih komprehensif dengan memperhatikan karakteristik wilayah serta
kepentingan apa yang sesungguhnya melandasi sebuah tindakan politik.
Ketiga pendekatan ilmu politik ini tidak terpisah (terkotakkan) secara
“zakelijk” (tepat/pasti) melainkan kadang tercampur satu sama lain.
Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan
masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara
material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang dapat
menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah aksiologi. Aksiologi adalah
guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan
nantinya.
Aksiologi ilmu politik adalah untuk memberi “jalan atau cara” yang
lebih baik dalam hal negosiasi kepentingan antar kelompok dalam
masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk
“membahagiakan hidup manusia” yang tinggal dalam suatu wilayah yang
sama. Secara khusus, bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Negara,
ilmu politik diharapkan akan memberi wawasan baru bahwa dalam kerja
keseharian, sebagai administratur negara ia berada dalam suatu kawasan
yang bernama negara. Ia terikat oleh aturan-aturan (legislasi) yang
dibuat pemerintah (DPR dan Eksekutif). Bagi seorang mahasiswa Ilmu
Administrasi Niaga, belajar politik diharapkan akan memberi wawasan
bahwa kelompok-kelompok ekonomi amat terpengaruh oleh sebuah keputusan
politik, dan sebaliknya, suatu kondisi ekonomi akan memberi
pengaruh-pengaruh tertentu atas kehidupan politik.
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara
bebas). Ilmu politik juga dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini dapat
dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu lain tersebut yang
dipakai dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan contoh
pengaruh dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat,
antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu jurnalistik serta para
praktisi politik :
[6]
Bidang Ilmu |
Konsep yang Dipinjam |
Sosiologi |
Akomodasi, agregasi, asimilasi, sirkulasi
elit, klik, kohesi, perilaku kolektif, hirarki, tipe ideal,
individualisme, legitimasi, media massa, masyarakat massa,
militerisme, nasionalisme, variabel-variabel pola, etika Prostestan,
sekularitas, segregasi, kelas sosial, kontrol sosial, itegrasi sosial,
struktur sosial, sosialisasi, ketidakkonsistenan status, kelas pekerja,
Gemeinschaft-Gesellschaft. |
Psikologi |
Afeksi, alienasi, ambivalensi, aspirasi,
attitude, perilaku, kesadaran, ketergantungan, empati, personalitas,
gerakan sosial, strereotip, Gestalt. |
Ekonomi |
Alokasi sumber daya, kartel,
korporatisme, revolusi industri, industrialisasi, liberalisme,
merkantilisme, GNP, kelangkaan, wilayah terbelakang. |
Filsafat |
Anarkisme, aristokrasi, konsensus, demokrasi, faksi, kehendak umum, idealisme, monarki, oligarki, pluralisme, tirani, nilai. |
Antropologi |
Akulturasi, afinitas, kasta, nepotisme, patriarki, masyarakat majemuk. |
Teologi |
Anomi, karisma. |
Jurnalis dan Politisi |
Imperialisme, internasionalisme,
isolasionisme, kiri dan kanan, lobi, netralisme, nihilisme, patronase,
plebisit, propaganda, sosialisme, sindikalisme. |
Meskipun dipinjam, konsep-konsep tersebut di atas telah
terinternalisasi dengan baik sehingga menjadi konsep-konsep mapan di
dalam ilmu politik. Beberapa konsep dari yag disebut di atas akan
kembali kita temui dalam materi-materi Pengantar Ilmu Politik
selanjutnya.
Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam
International Political Science Association
merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub
disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan
ilmu politik, yaitu :
[7]
1. Ilmu Politik (
Political Science)
Bidang ini membahas bagaimana politik dapat dianggap sebagai bidang
ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan ilmu politik dengan
ilmu-ilmu sosial lain.
2. Lembaga-lembaga Politik
Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup :
sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur
pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal,
pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
3. Tingkah Laku Politik
Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan
lembaga politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal.
Misalnya mempelajari perilaku pemilih dalam ‘mencoblos’ suatu partai
dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu
sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang
presiden di negara mereka.
4. Politik Perbandingan
Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari:
Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk
mengidentifikasi serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau
persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang diperbandingkan.
Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan,
dan bagaiana melakukan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
5. Hubungan Internasional
Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri,
hukum internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi
internasional. Singkatnya, segala aktivitas politik yang melampaui batas
yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
6. Teori Politik
Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru
dalam ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep
dari ilmu sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep
yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk
menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu
politik telah mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori
ini digunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan
perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan
politik “menutup” diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Duia
I), diterapkan teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
7. Administrasi dan Kebijakan Publik
Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas pemerintah, baik
secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana aktivitas
ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
8. Ekonomi Politik
Sub disiplin ini menekankan pada perilaku ekonomi dalam proses politik serta perilaku politik dalam pasar (marketplace).
9. Metodologi Politik
Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta
metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah
pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu
penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam
uji statistik (dalam tradisi
behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
Pendekatan-pendekatan dalam Ilmu Politik
Berbicara mengenai pendekatan maka kita berada dalam kerangka aspek
epistemologi ilmu pengetahuan. Dengan epistemologi, tata urut penemuan
suatu pengetahuan akan dapat dilihat. Dalam pertemuan 2 kita telah
membahas adanya 3 pendekatan besar dalam ilmu politik yaitu tradisional,
behavioral, dan postbehavioral. Ketiga pendekatan tersebut sesungguhnya
lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik ketimbang
memberi suatu penjelasan yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita
menghampiri suatu fenomena politik.
Pendekatan dapat dianalogikan seperti 6 orang yang coba menganalisa
suatu rumah. Rumah misalkan saja terdiri atas 6 buah aspek, yaitu :
fundasi, dinding, atap, halaman, distribusi air, dan keindahan ruangan.
Orang yang meneliti sebuah rumah dari sisi fundasi tentu berbeda cara
dan kesimpulannya dari orang yang mengamati melalui perspektif atap.
Demikian pula, orang yang ahli sistem pengairan tidak dapat menyimpulkan
hasil penelitian melalui perspektif halaman. Demikian pula halnya dalam
ilmu politik. Pendekatan satu dengan pendekatan lain berbeda baik dalam
hal meneliti serta menyimpulkan sebuah gejala politik.
Di dalam ilmu politik —-sekurang-kurangnya menurut David E. Apter—-
terdapat 6 pendekatan dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan
tersebut memiliki pendukung dan karakteristik khasnya masing-masing.
Namun, sama seperti masalah rumah tadi, meskipun keenam perspektif
tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu rumah. Di
dalam politik demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama
menganalisa satu bidang, yaitu fenomena politik.
[8]
Pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam ilmu politik adalah terdiri
atas Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme,
Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan digunakan
untuk merinci masing-masing pendekatan secara satu per satu.
Filsafat Politik
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif
abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik.
Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan
negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa
dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam
pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi
klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari
orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato
mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan yang benar seputar
bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika
prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan —menurut Plato— adalah
tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat
yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang
harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai
dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para
penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin.
[9]
Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang
kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh,
pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan
mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan
kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi
kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan
kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang berkeluarga, wanita
dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup,
makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga ‘disapih’ sejak umur 2
tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan
kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga,
khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan
demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja.
Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat
hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu
berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah
melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari
pamrih. Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah
PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut :
|
Sarana |
|
Tujuan |
Para Penguasa |
Otoritas |
→ |
Keadilan |
(1) |
(2) |
|
↑ |
|
↓ |
Rakyat |
Pekerjaan |
← |
Potensialitas |
(4) |
(3) |
Keterangan :
Penguasa menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingan umum
sebagai hasil dari kecerdasan mereka. Kepentingan umum sebaliknya,
merupakan pemenuhan setiap potensi-pontesi yang ada pada diri individu.
Otoritas akan dijalankan oleh filosof-raja yang memerintah untuk
menegakkan keadilan. Keadilan diberikan kepada rakyat untuk
diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai melalui
pekerjaan. Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang perlu
untuk otoritas.
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan
manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk
sosial sekaligus zoon politikon (makhluk politik), sebab manusia tidak
dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain.
Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi
dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas:
Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang
gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada
filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan
pembetukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi).
Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara
praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di ‘menara gading.’ Sumber
kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan
banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan
kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan
miskin atau kaya, melainkan golongan menengah.
[10]
Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki
dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk
kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia
mampu berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini:
|
Sarana |
|
Tujuan |
Warganegara Individual |
Pilihan |
← |
Kebijaksanaan (praktis) |
(4) |
(3) |
|
↓ |
|
↑ |
Polis (negara) |
Konstitusi Campuran |
→ |
Kebahagiaan |
(1) |
(2) |
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan
aturan dasar kehidupan bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk
kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu
negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam bentuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan
pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke
dalam bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)[11]
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M – 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia
membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara
sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari penyelenggaraan
hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi
(disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas
kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler
ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan,
penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi
dan diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel.
Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu,
sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Magnum opus Aquinas adalah “Summa Theologia.” Berbeda dengan
Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler.
Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang
hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru
yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus
diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan hukum Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya
keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk
mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan “Jangan
melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang
mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut
digulingkan.”
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab
pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja,
isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia).
Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi
patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah
anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya
mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther
menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara
(sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan
tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih
penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah
pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh
subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam
konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip
ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke dalam bagan berikut :
|
Sarana |
|
Tujuan |
Yang Mengatur |
Negara Manusia (akal) |
← |
Masyarakat Baik Sebagai Kota Tuhan (wahyu) |
(2) |
(1) |
|
↓ |
|
↑ |
Yang Diatur |
Kepatuhan Pada Hukum Positif |
→ |
Kejayaan (Grace) |
(3) |
(4) |
Keterangan :
Wahyu turun dari Tuhan. Dari wahyu muncul nalar, dan dari nalar
tampil hukum alam. Dari hukum alam maka lahir hukum praktis yang
mengatur harta benda, warisan, dinas militer, dan kewajiban-kewajiban
lain. Hukum praktis ini dibuat oleg rakyat dan disebut hukum positif,
yaitu hukum yang menunjukkan apa apa yang harus dilakukan dan bagaimana
melakukannya. Hukum ini dimaksudkan demi menciptakan kejayaan (grace).
C. Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).[12]
Dalam magnum opus-nya “Il Principe” (sang pangeran), Machiavelli
menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara.
Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup
semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan
Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak,
bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama,
moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para
penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang
raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik
sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan
dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara
umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar
terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah “Leviathan.” Bagi Hobbes,
manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab
manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri ‘buas’ di dalam dirinya.
Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium
Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang
tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan stabilitas dan
kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan
tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan
kekuasaan? Hobbes menjawa: “Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum
moral di alam dirinya!”
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opusnya John Locke “Two Treatises of Government.” Menurut
Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur
memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu
lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan
kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes,
bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke
menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu :
- Legislatif (pembuat UU)
- Eksekutif (pelaksana UU)
- Federatif (hubungan dengan luar negeri) —- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana
wakil-wakil rakyat yang membuat undang-udang. Namun, “rakyat” yag
diwakili tersebut adalah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu (1689-1755 M).
Magnum opus dari Montesquieu adalah “The Spirit of the Laws.” Buku
ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian
berikut :
- Hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
- Pengaturan militer dan pajak
- Ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
- Perekonomian.
- Agama
- Uraian tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk
memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU),
Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan
pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).
Magnum opus Rousseau adalah “The Social Contract.” Dalam karya
tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu
perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat
untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang
dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini
kemudian dinamakan Negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan
tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai
kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau
tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya,
setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang
atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik.
Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan
kepentingannya dengan individu lain.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut :
|
Sarana |
|
Tujuan |
Para Penguasa |
Kekuasaan |
→ |
Stabilitas dan Ketertiban |
(3) |
(4) |
|
↑ |
|
↓ |
Yang Dikuasai |
Dukungan |
← |
Hak-Hak |
(2) |
(1) |
Keterangan :
Hal paling penting dalam tradisi pencerahan adalah hak-hak individu
manusia (bukan Tuhan atau masyarakat). Untuk menjamin terselenggaranya
hak tersebut, mereka memberi dukungan pada seseorang atau sekelompok
orang untuk mengatur mereka. Dukungan melahirkan kekuasaan, dan
kekuasaan demi menjaga stabilitas dan ketertiban agar setiap individu
mampu menikmati hak-hak mereka dengan rasa aman.
D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya : “The Phenomenology of Mind.” Menurut Hegel ada satu
kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia
sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang
paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis
(pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian
melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian,
negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi
kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan
ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx
(murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma
sekadar alat dari kelas ‘kaya’ ekonomis untuk mengisap kelas ‘miskin’
(proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang
kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara
dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
[13]
John Stuart Mill
Magum opusnya “On Liberty.” Mill amat menjunjung tinggi kehidupan
politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen
untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat
negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number
(kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan
demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara.
Baginya, yang ‘banyak’ harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar
dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk
apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada
penciptaan lembaga-lembaga untukmengaplikasikan ide-ide ke alam
kenyataan.
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat
dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap
rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan
organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana
membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau
kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil.
Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah
pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah
negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan
negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai
yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum.
Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana
menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di
sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif,
sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga
negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran
atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus
eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai
politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan
pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok
kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik
tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga
kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk
mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen.
Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi
negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya
elakukan pelayanan publik.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara
(abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku
politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai
unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan
Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu
serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari
behavioralisme.
[15]
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu
individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi
terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut
dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam
kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar
kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa
interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal.
[16] Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal.
[17]
Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik
hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills).
[18]
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa
fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh
struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang
duduk di posisi lembaga-lembaga politik.
[19]
Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan
bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat
itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi
tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah,
sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun
kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh
struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa
Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu
atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang ‘mendadak’ kaya
akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai
perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar
menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca
perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan
ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut.
Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui
kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner,
mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi
politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam
“Political Order in Changing Society” pada tahun 1968. Karya ini
membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial
tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada
instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik
tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul
situasi disorder.
[20]
Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara baru merdeka
adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik,
parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari
ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara
dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis
baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya
dalam buku “Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi
Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara ‘dunia ketiga’ adalah
akibat :
- modal asing
- perilaku pemerintah lokal yang korup
- kaum borjuis negara satelit yang ‘manja’ pada pemerintahnya
Frank menyarankan agar negara-negara ‘dunia ketiga’ memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat).
[21]
Referensi
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).
- Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction, Fifth Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1994).
- Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,
2000). Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of
Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996).
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).
- Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997).
- Footnote:
- [1] Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
- [2] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of
Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
- [3] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
- [4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
- [5] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search
for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..57
- [6] Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
- [7] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
- [8] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
- [9] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
- [10] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.
- [11] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Graedia, 2001).
- [12] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From
Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968),
p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat
dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo
Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
- [13] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
- [14] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
- [15] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
- [16] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali,
1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview
Press, 1981), p.358.
- [17] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
- [18] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The
Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
- [19] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The
Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p.195-6.
- [20] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
- [21] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The
Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p..290-1.
Hubungan Internasional, adalah cabang dari
ilmu politik, merupakan suatu studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu
global
di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran
negara-negara, organisasi-organisasi antarpemerintah,
organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dan
perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional adalah
suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif
atau normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta
merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu.
Selain ilmu politik, Hubungan Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti
ekonomi,
sejarah,
hukum,
filsafat,
geografi,
sosiologi,
antropologi,
psikologi,
studi-studi budaya
dalam kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari
globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan
kedaulatan negara sampai kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir,
nasionalisme, perkembangan ekonomi, terorisme, kejahatan yang
terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia.
Sejarah
Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa] didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai.
Westphalia mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama [Perang Dingin]. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.
Studi Hubungan internasional
Pada mulanya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang
tersendiri hampir secara keseluruhan berkiblat ke Inggris. Pada 1919,
Dewan Politik internasional dibentuk di University of Wales,
Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh
David Davies, menjadi posisi akademis pertama yang didedikasikan untuk HI. Pada awal
1920-an,
jurusan Hubungan Internasional dari London School of Economics
didirikan atas perintah seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Phillip
Noel-Baker. Pada
1927, Graduate Institute of International Studies (Institut universitaire de hautes Ã(c)tudes internationales), didirikan di
Jenewa,
Swiss;
institut ini berusaha menghasilkan sekelompok personel khusus untuk
Liga Bangsa-bangsa. Program HI tertua di Amerika Serikat ada di Edmund
A. Walsh School of Foreign Service yang merupakan bagian dari Georgetown
Unversity. Sekolah tinggi pertama jurusan hubungan internasional yang
menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletcher Schooldi Tufts.
Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan untuk studi HI telah
didirikan di Asia dan Amerika Selatan, HI sebagai suatu bidang ilmu
tetap terutama berpusat di Eropa dan Amerika Utara.
Teori hubungan internasional
Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah
Perang Dunia I,
dan dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI memiliki
tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan
huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional bertujuan untuk
membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan
internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia
karya Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan
Leviathan karya
Hobbes dan
The Prince karya
Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian juga,
liberalisme menggunakan karya
Kant dan
Rousseau,
dengan karya Kant sering dikutip sebagai pengembangan pertama dari
Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer
secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak yang didambakan dalam
hukum alam,
Francisco de Vitoria,
Hugo Grotius, dan
John Locke
memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan
hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20,
selain teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal,
Marxisme merupakan landasan hubungan internasional.
Perkembangan fenomena hubungan internasional telah memasuki
aspek-aspek baru, dimana Hubungan Internasional tidak hanya mengkaji
tentang negara, tetapi juga mengkaji tentang peran aktor non-negara di
dalam ruang lingkup politik global. Peran non-state actor yang semakin
dominan mengindikasikan bahwa non-state actor memegang peran yang
penting.
Dewasa ini, fenomena hubungan internasional telah memasuki ranah
budaya (seperti klaim tari pendet Malaysia terhadap indonesia), sehingga
Hubungan Internasional memerlukan kajian teoritis dari dispilin ilmu
lainnya.
Teori Epistemologi dan teori HI
Teori-teori Utama Hubungan Internasional
Realisme [[Neorealisme], Dipelopori oleh Kenneth Waltz, istilah kunci : struktur, agen, sistem internasional
Idealisme, Dipelopoeri oleh Imanuel Kant, istilah kunci : Pacific UnION
Liberalisme. Dipelopori oleh Robert Keohane, istilah kunci : complex interdepency
Neoliberalisme,
Marxisme dan Neo Marxis Teori dependensi.
Teori kritis dipelopori oleh Jurgen Habermas, istilah kunci : Paradigma Komunikasi, Paradigma Kesadaran, Alienisasi, Emansipatoris.
Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme Negativitas Total dari TW Adorno, untuk memahami isu-isu lingkungan
Masyarakat Konsumtif dari Herbert Marcuse, untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan budaya global
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan
epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis
bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis
dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus
berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan
militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi
pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan
cara yang objektif dan
bebas-nilai.
Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang
neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan
bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan
bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa
sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan
berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan
bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis
berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang
dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi.
Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan
pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini
merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena
teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan
penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir
1980-an/
1990
perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para
pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan
dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.)
Teori-teori Positivis
Realisme
Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya
menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis
awal seperti E.H. Carr,
Daniel Bernhard, dan
Hans Morgenthau
berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka,
negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari
kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri
(self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan
sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II
sebagai pembuktian terhadap teori mereka. Perlu diperhatikan bahwa para
penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes sering
disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri” realisme oleh orang-orang
yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer. Namun,
meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis, ketiga orang
tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri
sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah
tersebut).
Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal
Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I
untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan
membatasi perang dalam hubungan internasional mereka.
Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk
Woodrow Wilson dan
Normal Angell,
yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan
keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu
destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia.
Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham
tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh
E.H. Carr.
Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia
sebagai dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh
Hans Kóchler.
Neorealisme
Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya
menyebut teorinya “realisme struktural” di dalam buku karangannya yang
berjudul Man, the State, and War). Sambil tetap mempertahankan
pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional
dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara yang antagonistik, para
pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem
internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan
yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri
negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif
(relative gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan.
Tidak seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih
positivis. Hal lain yang juga membedakan neo-realisme dari realisme
adalah bahwa neo-realisme tidak menyetujui penekanan realisme pada
penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.
Neoliberalisme
Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui
asumsi neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam
hubungan internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa
aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah
adalah juga penting. Para pendukung seperti
Maria Chatta
berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari
pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian
pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi selama
Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa
neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga
berarti bahwa pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan
mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa
organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa
atas kedaulatan. Neoliberalimse juga mengandung suatu
teori ekonomi
yang didasarkan pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka dan bebas
dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi pemerintah untuk
mencegah terbentuknya
monopoli dan bentuk-bentuk
konglomerasi
yang lain. Keadaan saling tergantung satu sama lain yang terus
meningkat selama dan sesudah Perang Dingin menyebabkan neoliberalisme
didefinisikan sebagai institusionalisme, bagian baru teori ini
dikemukakan oleh Robert Keohane dan juga Joseph Nye.
Teori Rejim
Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa
berbagai institusi atau rejim internasional mempengaruhi perilaku
negara-negara (maupun aktor internasional yang lain). Teori ini
mengasumsikan kerjasama bisa terjadi di dalam sistem negara-negara
anarki. Bila dilihat dari definisinya sendiri, rejim adalah contoh dari
kerjasama internasional. Sementara
realisme
memprediksikan konflik akan menjadi norma dalam hubungan internasional,
para teoritisi rejim menyatakan kerjasama tetap ada dalam situasi
anarki sekalipun. Seringkali mereka menyebutkan kerjasama di bidang
perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan bersama di antara isu-isu
lainnya. Contoh-contoh kerjasama tadilah yang dimaksud dengan rejim.
Definisi rejim yang paling lazim dipakai datang dari Stephen Krasner.
Krasner mendefinisikan rejim sebagai “institusi yang memiliki sejumlah
norma, aturan yang tegas, dan prosedur yang memfasilitasi sebuah
pemusatan berbagai harapan. Tapi tidak semua pendekatan teori rejim
berbasis pada liberal atau neoliberal; beberapa pendukung realis seperi
Joseph Greico telah mengembangkan sejumlah teori cangkokan yang membawa
sebuah pendekatan berbasis realis ke teori yang berdasarkan pada liberal
ini. (Kerjasama menurut kelompok realis bukannya tidak pernah terjadi,
hanya saja kerjasama bukanlah norma; kerjasama merupakan sebuah
perbedaan derajat).
Teori-teori pasca-positivis/reflektivis
Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran
Inggris, berfokus pada berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki
oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut
mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti itu mencakup
diplomasi, tatanan,
hukum internasional.
Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu positivis. Para
teoritisi teori ini telah berfokus terutama pada intervensi kemanusiaan,
dan dibagi kembali antara para solidaris, yang cenderung lebih
menyokong intervensi kemanusiaan, dan para pluralis, yang lebih
menekankan tatanan dan kedaulatan,
Nicholas Wheeler adalah seorang solidaris terkemuka, sementara
Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang paling dikenal.
Konstruktivisme Sosial
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan
menangani berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan
tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan
tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang
menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi
versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh
dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial.
Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh
Hopf (
1998)
sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat
dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang
dimiliki oleh kekuatan-kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling
terkenal,
Alexander Wendt menulis pada
1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku, Social Theory of International Politics
1999),
“anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal
tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang
diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara
pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi
dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem
internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat
anarki
sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki
“Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan.
Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”)
maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini
dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami
dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut
pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul
dari kedua sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung
pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan
mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial
sebagai teori positivis yang lain.
Penggunaan teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga
telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar seperti Steven Smith.
Para pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori
tersebut mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat
dianggap sebagai teori positivis.
Teori Kritis
Teori hubungan internasional kritis
Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan “teori kritis”
dalam hubungan internasional. Pada pendukung seperti Andrew Linklater,
Robert W. Cox, dan
Ken Booth
berfokus pada kebutuhan terhadap emansipansi (kebebasan) manusia dari
Negara-negara. Dengan demikian, adalah teori ini bersifat “kritis”
terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung berpusat pada negara
(state-centric). Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak
menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain
misalnya fungsionalisme, neofungsionalisme, feminisme, dan teori
dependen.
Marxisme
Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan
realis/liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya
berfokus pada aspek ekonomi dan materi.
Marxisme
membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan
yang lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus
studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai
sistem
kapitalis
terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Dengan demikian,
periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya untuk
bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk
ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru
dalam bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori
Marx
adalah teori dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam
usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara
berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan
multinasional untuk mengintegrasikan negara-negara berkembang tersebut
ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber
daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap
negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di
Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian
Eropa dan merupakan salah satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis
Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.
Teori-teori pascastrukturalis
Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari
studi-studi pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme
mengeksplorasi dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional tidak
problematis dalam HI, seperti
kekuasaan dan
agensi
dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk
hubungan-hubungan internasional. Penelitian terhadap “narasi” memainkan
peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai contoh
studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh
“kaum wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita
dikonstruksi dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga
sipil”. Contoh-contoh riset pasca-positivis mencakup: Pelbagai bentuk
feminisme (perang “gender” war—“gendering” war) Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa dalam HI)
Konsep-konsep dalam hubungan internasional
Konsep-konsep level sistemik
Hubungan internasional sering dipandang dari pelbagai level
analisis,
konsep-konsep level sistemik adalah konsep-konsep luas yang
mendefinisikan dan membentuk lingkungan (milieu) internasional, yang
dikarakterkan oleh
Anarki.
Kekuasaan
Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan
sebagai tingkat sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam
persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan sering dibagi menjadi
konsep-konsep kekuasaan yang keras (
hard power) dan kekuasaan yang lunak (
soft power),
kekuasaan yang keras terutama berkaitan dengan kekuasaan yang bersifat
memaksa, seperti penggunaan kekuatan, dan kekuasaan yang lunak biasanya
mencakup
ekonomi,
diplomasi, dan pengaruh
budaya. Namun, tidak ada garis pembagi yang jelas di antara dua bentuk kekuasaan tersebut.
Polaritas
Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan
kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari
bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi
oleh
konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum
1945
dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar),
dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya
Uni Soviet pada
1991
telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai
unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa
teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut.
Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di
Eropa
sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan
menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan
stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan
kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam
Neorealisme
Kenneth Waltz.
Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk
menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan
kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga
menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas.
Hegemoni
adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu
kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa
hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena adanya keuntungan yang
diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain dari
satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan
banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz,
yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan
unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak
terelakkan akan berubah. Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan
Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan
menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode
tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut
mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya
pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain.
Pendukung utama teori tersebut,
A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.
interdependensi
Banyak orang yang menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini
dikarakterkan oleh meningkatnya interdepedensi atau saling
ketergantungan: tanggung jawab terhadap satu sama lain dan dependensi
(ketergantungan) terhadap pihak-pihak lain. Para penyokong pendapat ini
menunjuk pada meningkatnya
globalisasi,
terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional. Peran
institusi-institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas
terhadap sejumlah prinsip operasional dalam sistem internasional,
memperkukuh ide-ide bahwa hubungan-hubungan dikarakterkan oleh
interdependensi.
Dependensi
Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan
Marxisme, yang menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi
kekayaan sekelompok negara Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi
teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan keadaan yang tidak
terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut
untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).
Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional
- Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara
pelbagai perwakilan negara-negara. Pada suatu tingkat, semua
perangkat hubungan internasional yang lain dapat dianggap sebagai
kegagalan diplomasi. Perlu diingat, penggunaan alat-alat yang lain
merupakan bagian dari komunikasi dan negosiasi yang tak terpisahkan
di dalam negosiasi. Pemberian sanksi, penggunaan kekuatan, dan
penyesuaian aturan perdagangan, walau bukan merupakan bagian dari
diplomasi yang biasa dipertimbangkan, merupakan perangkat-perangkat
yang berharga untuk mempermudah serta mempermulus proses negosiasi.
- Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan pertama yang
diambil setelah gagalnya diplomasi dan merupakan salah satu
perangkat utama yang digunakan untuk menegakkan pelbagai perjanjian
(treaties). Sanksi dapat berbentuk sanksi diplomatik atau ekonomi
dan pemutusan hubungan dan penerapan batasan-batasan terhadap
komunikasi atau perdagangan.
- Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat
utama dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima
secara luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang
adalah “kelanjutan politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan
studi tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor
selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional
tercakup dalam disiplin Studi Perang dan Studi Strategis.
- Mobilisasi tindakan mempermalukan secara internasional juga
dapat dianggap sebagai alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini
adalah untuk mengubah tindakan negara-negara lewat “menyebut dan
mempermalukan” pada level internasional. Penggunaan yang terkemuka
dalam hal ini adalah prosedur Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi
Manusia 1235, yang secara publik memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
- Pemberian keuntungan-keuntungan ekonomi dan/atau diplomatik.
Salah satu contohnya adalah kebijakan memperbanyak keanggotaan Uni
Eropa. Negara-negara kandidat diperbolehkan menjadi anggota Uni Eropa setelah memenuhi kriteria Copenhagen.
Konsep-konsep unit level dalam hubungan internasional
Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level
negara, karena level analisis ini menempatkan penjelasannya pada level negara, bukan
sistem internasional.
Tipe rezim
Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara
suatu negara berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem
internasional. Teori Perdamaian Demokratis adalah teori yang
mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa negara-negara
demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini
adalah bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka
dan hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa
demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain. Sementara itu,
komunisme menjustifikasikan suatu
revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan koeksitensi (hidup berdampingan) secara damai, berdasarkan masyarakat global yang proletar. asf
Revisionisme/Status quo
Negara-negara dapat diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima
status quo, atau merupakan
revisionis,
yaitu menginginkan perubahan. Negara-negara revisionis berusaha untuk
secara mendasar mengubah pelbagai aturan dan praktik dalam hubungan
internasional, merasa dirugikan oleh status quo (keadaan yang ada).
Mereka melihat sistem internasional sebagai untuk sebagian besar
merupakan ciptaan barat yang berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas
yang ada. Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara
revisionis menjadi negara yang puas dengan status quo, karena status quo
tersebut kini menguntungkan baginya.
Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara
negara bertindak dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai
prinsip pengorganisasi terutama bagi negara-negara
Islam,
sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya dari spektrum dengan
pemisahan antara negara dan agama bertanggung jawab atas tradisi
Liberal.
Konsep level sub unit atau individu
Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan
pelbagai faktor dalam Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh
teori-teori yang lain, dan untuk beranjak menjauhi pandangan yang
berpusat pada negara (negara-sentris) dalam hubungan internasional.
- Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional
– Pengevaluasian faktor-faktor psikologis dalam hubungan internasional
berasal dari pemahaman bahwa negara bukan merupakan kotak hitam seperti yang dikemukakan oleh Realisme
bahwa terdapat pengaruh-pengaruh lain terhadap keputusan-keputusan
kebijakan luar negeri. Meneliti peran pelbagai kepribadian dalam proses
pembuatan keputusan dapat memiliki suatu daya penjelas, seperti
halnya peran mispersepsi di antara pelbagai aktor. Contoh yang
menonjol dalam faktor-faktor level sub-unit dalam hubungan
internasional adalah konsep pemikiran-kelompok (Groupthink),
aplikasi lain yang menonjol adalah kecenderungan para pembuat
kebijakan untuk berpikir berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi
- Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi
dalam pembuatan keputusan, dan menganggap berbagai keputusan
sebagai hasil pertarungan internal birokratis (bureaucratic
in-fighting), dan sebagai dibentuk oleh pelbagai kendala.
- Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan yang menarik diri
— Mengamati aspek-aspek ini dalam level sub-unit memiliki daya penjelas
berkaitan dengan konflik-konflik etnis, perang-perang keagamaan,
dan aktor-aktor lain yang tidak menganggap diri mereka cocok dengan
batas-batas negara yang pasti. Hal ini terutama bermanfaat dalam
konteks dunia negara-negara lemah pra-modern.
- Ilmu, Teknologi, dan Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan teknologi berdampak pada perkembangan, teknologi, lingkungan, bisnis, dan kesehatan dunia.
Institusi-institusi dalam hubungan internasional
Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting
dalam Hubungan Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level
sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan mereka melarang
beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional,
seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan
dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang
menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas
politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah
komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan modern
seperti
efek Dogville
(orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan
politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai masalah dunia
seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah
membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah
dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained
pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi
berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (
irreducibility),
di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas,
yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar
bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur
pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan
pelbagai bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang
institusi-institusi tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban global.
PBB
PBB adalah
organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai
“himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi kerjasama
dalam hukum internasional, keamanan internasional, perkembangan ekonomi,
dan kesetaraan sosial”. PBB merupakan institusi internasional yang
paling terkemuka. Banyak institusi legal memiliki struktur organisasi
yang mirip dengan PBB.
Institusi Ekonomi
Badan Hukum Internasional
Hak Asasi Manusia
Hukum
Organisasi tingkat regional
BAB V KESIMPULAN dan SARAN
Dalam suatu negara perlu adanya manajemen sistem yang direalisasikan
ke dalam suatu aturan, dan hubungannya dengan demokrasi terdapat
beberapa aturan yang menghimbau masyarakat dalam pemerintahan. Hal ini
terlihat dalam pemberian hak dalam keikutsertaan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam mewujudkan partisipasi
masyarakat di bidang politik, peran pemerintah sangat penting karena
pemerintah adalah masyarkat dan masyarakat adalah pemerintah, dan dengan
partisipasi politik masyarakat dapat mendorong kesadaran berpolitik
dalam masyarakat.
Pendekatan politik kelompok akan menjadi sangat “berharga” untuk
diperebutkan. Mengapa demikian? Fenomena ini terjadi karena adanya
perebutan kekuasaan melalui cermin kebanggaan identitas yang lebih
cenderung pada etnisitas. Kecenderungan tersebut cukup beralasan, karena
masyarakat kita hari ini masih dalam tahap mencari “jati diri” sebagai
identitas sosial-politik. Jati diri yang paling mudah
didapatkan/dirasakan adalah identitas etnisitas yang sekaligus menjadi
perekat solidaritas sosial-politik. Perebutan kekuasaan ini tidak
semata-mata hanya berpijak pada “kontribusi” penguasa terhadap kelompok
yang diwakilinya, namun juga terhadap kelompok lain yang selama ini
menjadi bagian pendukung karena memiliki kesamaan identitas. Dari
analisa tersebut, jalan koalisi antar kelompok berbeda identitas belum
bisa dijadikan jaminan kesuksesan. Jaminan kesuksesan itu tidak muncul
karena tingkat eksistensi politik identitas menjadi sangat dominan di
negeri ini, sehingga kebanggan identitas akan terletak pada kelompok
identitas mana yang berada di puncak kekuasaan.
Perkembangan fenomena hubungan internasional telah memasuki
aspek-aspek baru, dimana Hubungan Internasional tidak hanya mengkaji
tentang negara, tetapi juga mengkaji tentang peran aktor non-negara di
dalam ruang lingkup politik global. Peran non-state actor yang semakin
dominan mengindikasikan bahwa non-state actor memegang peran yang
penting.
Dewasa ini, fenomena hubungan internasional telah memasuki ranah
budaya (seperti klaim tari pendet Malaysia terhadap indonesia), sehingga
Hubungan Internasional memerlukan kajian teoritis dari dispilin ilmu
lainnya.
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan
dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang
menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas
politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah
komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan modern
seperti
efek Dogville
(orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan
politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai masalah dunia
seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah
membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah
dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained
pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi
berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (
irreducibility),
di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas,
yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar
bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur
pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan
pelbagai bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang
institusi-institusi tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban global.
Dengan demikian bahwa politik dalam suatu negara (
state) berkaitan dengan masalah
kekuasaan (
power)
pengambilan keputusan (
decision making),
kebijakan publik (
public policy), dan
alokasi atau distribusi (
allocation or distribution).
Politik adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan harta (
Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches).
Di bawah ini ada dua sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan konsensus.
- Menurut Rod Hague et al.: “politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya.
- Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah
kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan , dan
mengamandemenkan peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya,
yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Menurut
Thomas P. Jenkin dalam
The Study of Political Theory, teori politik dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Norms for political behavior, yaitu teori-teori yang mempunyai dasar moril dan norma-norma politik. Teori ini dinamakan
valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan antara lain filsafat politk, teori politik sistematis, ideologi, dan sebagainya.
b. Teori-teori politik yang menggambarkan dan membahas phenomena dan
fakta-fakta politk dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai
(non valuational), atau biasa dipakai istilah “value free” (bebas
nilai). Biasanya bersifat deskriptif dan berusaha membahas fakta-fakta
politk sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan
dalam generalisasi-generalisasi.
Definisi-definisi mengenai Negara, antara lain adalah :
- Roger H. Soltau, “Negara adalah alat (agency
atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama, atas masyarakat (The state is an
agency or authority managing or controlling these (common) affairs
on behalf of and in the name of the community).
- Harold J. Laski, “Negara adalah suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a
society which is integrated by possessing a coercive authority
legally supreme over any individual or group which is part of the
society).
- Max Weber, “Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah (The state is a human society that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory)
- Robert M. Maciver, “Negara adalah asosiasi
yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam
suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa (The sate is an association which, acting through law as
promulgated by a government endowed to this end with coercive
power, maintains within a community territorially demarcated the
external conditions of oreder).
Negara mempunyai sifat-sifat, antara lain adalah :
a) Sifat Memaksa,
b) Sifat Monopli,
c) Sifat mencakup semua
Unsur-unsur Negara, antara lain adalah :
a) Wilayah
b) Penduduk
c) Pemerintah
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara (Wikipedia, 2009). Politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
tersebut (Rahmadani Yusran, ).
Roger F. Soltau dalam
“Introduction to Politic” (1961) Ilmu Politik mempelajari negara,
tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta
dengan negara-negara lain.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
- Ghufran, M. Kordi K, 2007. Ironi Pembangunan (Beberapa Catatan Kritis dan Refleksi). Jakarta Timur: PT Perca.
- Putra, N., 1993. Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Seodjatmoko, Jakarta.
- Geventa, John, dkk, 2008. Demokrasi Deliberatif yang Mensejaterahkan
(upaya Revitalisasi Demokrasi Lokal). Jakarta: Panitia Nasional Kaukus
17++.
- Duverger, Maurice, 2005. Sosiologi Politik Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu social.
- Acton, Lord. Letter to Bishop Mabdell Creighton. 1887.
- Alfian.”Suharto and the Question of Politixal Stability.” Pacific Community, Tokyo; April 1971.
- http://gdpermana.blogspot.com/2009/12/pendekatan-pendekatan-dalam-ilmu.html
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).
- Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction, Fifth Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1994).
- Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,
2000). Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of
Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996).
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).
- Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997).
- Footnote:
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
- Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of
Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
- Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for
a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..57
- Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
- Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
- Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
- Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
- J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.
- Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Graedia, 2001).
- Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From
Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968),
p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat
dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo
Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
- Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
- David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
- S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
- David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali,
1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview
Press, 1981), p.358.
- Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for
a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for
a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.195-6.
- Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for
a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..290-1.
- David Robetson. The Routledge Dictonary of Politics. Ed. Ke-3. London: Routledge, 2004
- Danrendorf, Ralf. Reflections on the Revolution in Europe. New York; Random House, 1990.