Kolam pemandian Citaman situs prasejarah
PEMANDIAN alam Citaman di Desa Sukasari, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang termasuk salah satu obyek wisata tertua di Provinsi Banten. Obyek wisata yang satu ini adalah situs purbakala prasejarah yang usianya sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi.
Sampai saat ini kolam pemandian alam itu masih banyak dikunjungi muda-mudi tiap akhir pekan dan hari libur. Mereka datang dari daerah yang tidak jauh dari lokasi itu, seperti Pandeglang dan Serang. Mata air yang keluar dari sela-sela batu besar di kolam pemandian itu menjadi daya tarik pengunjung yang datang ke tempat itu.
Suasana alam di sekitar lokasi pemandian tampak masih asri dan alami, jauh dari pemukiman penduduk dan banyak tumbuh pohon kirai yang daunnya digunakan penduduk untuk membuat anyaman atap rumah.
Citaman memang sudah lama dikenal sebagai tempat rekreasi muda-mudi yang tengah kasmaran. Dua buah kolam pemandian alam terbuka yang ada di sana tetap dipertahankan seperti bentuk aslinya. Kedua kolam pemandian itu sengaja dibuat terpisah, yang satu digunakan untuk wanita dan yang satu lagi untuk laki-laki. Tetapi kedua kolam pemandian itu tak ada sekatan, sehingga dari kedua arah bisa bebas saling memandang.
Karena kolam pemandian alam itu masuk warisan budaya nenek moyang, maka peninggalan purbakala itu dilindungi UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jadi penduduk setempat turut menjaga keasliannya dan melarang siapa saja yang mencoba merusak atau mencuri batu-batu yang berserakan di sana. Selain terdapat kolam pemandian di lokasi itu terdapat pula semacam punden berundak yang disebut arkeolog punden berundak Batu Goong Citaman.
Menurut catatan sejarah, kolam pemandian itu baru dilakukan penelitian oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (BP3S) tahun 1996. Menurut Kepala BP3S, Drs.Djaenuderadjat, batu goong tampak sekali dibentuk berdasarkan rancang bangun dengan memanfaatkan kondisi alam di sekitar Bukit Kadu Guling.
Rupanya nenek moyang kita pada masa itu memanfaatkan lahan Kadu Guling yang bertingkat-tingkat sebagai tempat upacara ritual. Makin ke timur makin tinggi dan puncak punden berada di bagian paling timur. Tepat pada puncaknya terdapat sebuah menhir, batu tegak yang dikelilingi sejumlah batu berbentuk goong dan batu silindrik dalam formasi temu gelang.
Melihat tampilan punden berundak Batu Goong ada kesamaan konsep rancang bangun dengan punden berundak Lebak Sibeduk dan Arca Domas di Banten Selatan, yaitu memusat ke belakang. Selain punden berundak yang memusat ke belakang, ada pula punden berundak yang memusat ke tengah, denahnya berbentuk konsentrik. Bentuk seperti ini bisa dijumpai di situs punden berundak Punggung Raharjo, Lampung Timur.
Sekitar 300 m ke arah barat dari situs Batu Goong terdapat kolam pemandian megalitik. Kolam ini berukuran sekitar 350 m2 dan ukuran besar seperti ini mungkin terbesar di Indonesia. Di sekitar kolam ditermukan batu berlubang, batu lumpang, batu bergores, pecahan keramik asing dari abad VIII, pecahan batu pipisan, pecahan alu batu dan benda cagar budaya lainnya. “Yang paling menarik di sana ditemukan batu dakon berlubang 13,”ujar Endjat.
Menurut penuturan Sarwinah, penduduk setempat, pada tahun 1993 pernah ditemukan fragmen arca dan kaki nandi di lokasi pemandian tersebut. Bukti-bukti yang ditemukan penduduk setempat merupakan petunjuk lokasi itu sejak lama dijadikan tempat pemujaan. Dari zaman prasejarah berlanjut ke zaman Hindu-Budha hingga masuk agama Islam di Banten.
Tak jauh dari situs Batu Goong, lk.4 km terdapat arca megalitik yang disebut Sanghyang Dendek. Plate, arkeolog Belanda tahun 1913 pernah melaporkan hasil temuannya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian terakhir Claude Gulliot, warga negara Perancis yang pernah melakukan penelitian ke situs itu. Para arkeolog mengatakan Sanghyang Dengdek menyandang nama dewa yang dipuja dengan tipe primitif. Di tatar Sunda situs peninggalan sejarah seperti ini disebut Si Bungkuk yang terpuja.
Lebak Sibeduk
Selain situs prasejarah Batu Goong yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai tempat pemandian dan ziarah, punden berundak Lebak Sibeduk juga masih dikunjungi orang. Karena lokasi situs ini jauh dari keramaian kota dan agak terisolir, maka jumlah pengunjungnya tidak sebanyak situs Batu Goong.
Menurut data di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas), jumlah punden berundak di Indonesia cukup banyak dan tersebar di peloksok tanah air. Di Banten selain Batu Goong terdapat pula situs punden berundak Lebak Sibeduk di Desa Citorek (Lebak) dan punden berundak Arca Domas di Desa Kenekes (Baduy). Situs serupa juga terdapat di Cianjur Selatan yang dikenal dengan nama Gunung Padang. Kemudian situs Pangguyangan di Cisolok, Sukabumi Selatan dan situs Karang Kemulyan di Ciamis.
Dari sekian banyak situs prasejarah punden berundak (stone pyramid) yang ditemukan sebagai peninggalan benda cagar budaya, hanya punden berundak Lebak Sibeduk yang ditemukan dalam keadaan utuh tidak dirusak manusia. Tidak seperti situs Gunung Padang yang hancur porak poranda dirusak penduduk setempat.
Situs Lebak Sibeduk luasnya sekitar 1 ha letaknya jauh dari perkampungan penduduk. Terlihat angker dan sekeliling situs ditumbuhi semak belukar dan dikelilingi hutan lebat. Bahkan di bagian tengah situs tumbuh beberapa pohon besar yang menandakan bahwa situs purbakala itu masih dipelihara dengan baik oleh penduduk setempat.
Batu menhir dan dolmen di situs itu masih berada pada posisinya semula, bagitu pula dengan batu kursi yang disebut-sebut sebagai tempat musyawarah pimpinan adat pada masa lalu. Sayangnya sebagian situs yang terletak dekat aliran sungai kecil mengalami erosi. Kemudian akibat lembabnya udara di sekitar lokasi membuat seluruh batuan ditumbuhi lumut dan cendawan. Demikian pula dengan pohon-pohon besar yang berada dekat bangunan punden akarnya telah merusak bangunan punden yang tingginya sekitar 20 m.
Menurut beberapa arkeolog yang pernah melakukan penelitian di sana, punden berundak itu memiliki 9 teras yang berorintasi 4 penjuru angin mirip bangunan Candi Borobudur.Pada teras pertama berbentuk bujur sangkar berukuran 115 m dan pada salah satu sisinya memiliki jenis batuan yang berbeda dengan situs Gunung Padang. Tampaknya jenis batuan yang ada di sana lebih kasar dan lebih tua. Kemudian berturut-turu pada teras diatasnya berukuran 90 m, 70 m dan pada puncaknya hanya berukuran 6 m.
Pada pintu masuk kompleks punden berundak terdapat sebuah menhir berukuran besar setinggi 2,5 m dengan garis tengah 1,5 m. Di bagian teras bawah terdapat bangunan gubuk yang di dalamnya terdapat beberapa batuan situs yang dianggap keramat oleh penduduk setempat.
Setiap pengunjung yang datang ziarah ke kesana diwajibkan masuk ke dalam gubuk tersebut oleh juru kunci. Sementara di bagian timur terdapat pula sebuah menhir besar yang berukuran 2 m dengan garis tengah 1 m. Batu tegak itu posisinya miring hamper rebah ke tanah. Karena batu itu mirip sebuah beduk, maka penduduk setempat menyebut tempat ziarah itu Lebak Sibeduk.
Pada hamparan tanah yang agak rendah terdapat bekas anak tangga menuju sumur kuno yang masih digunakan untuk mengambil air. Di tempat ini terdapat sumber mata air, letaknya berada di sebelah utara. Penduduk setempat percaya air yang keluar dari sumur tua ini memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Disamping itu, bagi pengunjung yang mandi di sumur tua itu dipercaya bisa membuat seseorang awat muda dan tampak cantik.
Lokasi Lebak Sibeduk diapit 4 buah gunung, yaitu Gunung Pasir Helang, Nyumcung, Pasir Manggu dan Ngenyot. Situs purbakala itu juga dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, seperti Cibeduk di sebelah selatan, Cibanteng di sebelah barat, Cikadu di sebelah utara dan Cimanggu serta Ciamisah di sebelah timur.
Batu tulis
Bila melihat urutan sejarah, batu tulis peninggalan Raja Purnawarman, abad V di sungai Cidanghyang, Munjul juga menjadi obyek wisata. Sebuah tradisi yang dilakukan pelajar Pandeglang setiap mau ujian sekolah mereka melakukan ziarah ke sana.
Batu tulis itu menurut GJ de Casparis bersama mahasiswanya Boechari yang melakukan penelitian tahun 1950 adalah peninggalan Raja Purwarman dari Kerajaan Tarumanegara. Tulisan yang dipahat di atas batu besar itu merupakan tulisan aksara Palawa sama seperti yang ditemukan arekeolog di Batu Tulis Bogor.
Tulisan yang ada di batu tulis itu berbunyi wikranto yam wanipateh prabhuh satyapra (k) ra (mah) nerendraddhwajabhutennasrimatah purnnawarmanah. Artinya Ini adalah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia Purnawarman yang menjadi panji-panji sekalian raja-raja.
Berdasarkan temuan prasasti Munjul, Kabupaten Pandeglang dapat ditarik kesimpulan bahwa, sejak abad V daerah Banten masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara yang pusatnya di sekitar Bekasi, Jawa Barat. Kerajaan ini menurut kronik Cina disebut To-Lo-Mo pada abad VI dan VII Masehi mengirim utusannya ke Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar