Rabu, 23 November 2011

dinati safawiyah

A.    Pendahuluan

Pada masa pemerintahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah merupakan masa kemajuan Islam. Dari keduanyalah Islam mencapai masa kegemilangannya di segala bidang bahkan luas wilayah kekuasaan Islam tidak hanya disekitar Arab tetapi juga hingga sampai ke daratan Eropa seperti Spanyol. Namun, masa keemasan Islam lama kelamaan mulai tenggelam, sehingga Islam tidak mampu melanjutkan pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan peradaban Islam.  Setelah mendapatkan serangan dari Mongol Tartar (Hulagul Khan) yang begitu kuat maka umat Islam tidak dapat membendung serangan tersebut, hingga pada tahun 1258 M Dinasty Abbasiyah runtuh dan masa kejayaan Islam pun sempat tenggelam dalam beberapa abad. Pada abad ke-16 dunia Islam mulai bangkit kembali dengan ditandai oleh munculnya tiga kerajaan besar yaitu, kerajaan Safawi di Persia, kerajaan Turki Utsmani di Turki, dan Kerajaan Mughal di India. Masa lahirnya tiga kerajaan tersebut dapat disebut sebagai masa kebangkitan Islam ke-II.
Sebagai masa kebangkitan Islam kedua, tentu akan menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai kemajuan-kemajuan ketika tiga kerajaan itu mulai berdiri, dan pengaruhnya terhadap peradaban Islam di Persia. Salah satu yang akan di bahas dalam makalah ini adalah lahirnya dinasti Safawiyah yang berdiri secara resmi pada tahun 1501 M oleh Ismail Muda yang menjadikan Syiah sebagai agama resmi negara, serta kemajuan-kemajuan yang di capai pada masa kekuasaannya hingga runtuhnya kekuasaan Dinasti Safawiyah. Menurut menelusuran sejarah dinasti Safawiyah merupakan dinasti yang memberikan pengaruh bagi peradaban Islam khusus di Persia dan sekitarnya yang mempunyai karakteristik dan perbedaaan kemajuan dari tiga kerajan besar lainnya seperti Turki Utsmani dan Mughal.




B       Latar Belakang Berdirinya Dinasti Safawiyah
           
            Kata Safawi berasal dari kata Shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Safawi. Shafi Al-Din Ishak Al-Ardabily, pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. Kerajaan Safawi berdiri secara resmi di Persia pada tahun 1501 M/907 H, tatkala Syah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabriz. Shafi Al-Din Ishak Al-Ardabily lahir pada 1252 M/650 H, enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Baghdad dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah. Ia lahir di kota Ardabil, sebuah kota paling Timur dari Azerbaijan. Sejak kecil ia sudah menggemari amalan keagamaan dan kehidupan sufistik. Pada usia 25 tahun ia berguru pada seorang yang bernama Zahid Tajudin di Jailan selama 25 tahun. Ia mengamalkan sesuatu amalan yang kelak dikenal sebagai Tarekat shafawiyah yang berpusat di Ardabil. Ia kemudian lebih dikenal sebgai sufi besar yang memiliki kramat menurut pengikut-pengikutnya.
            Adapun mengenai asal-usul keturunan Shafi Al-Din, menurut sumber dari keluarga Shafawi, Shafi Al-Din adalah keturunan dari Musa Al-Kazhim, imam ketujuh dari syiah Imamiyah yang dua belas. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah Saw, dari garis putrinya Fatimah. Akan tetapi menurut pendapat lain ia seorang penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Turki yang dipakai di wilayah Azerbaijan. Ia dianggap beraliran Syiah tetapi juga Sunni yang bermazhab Syafi’iah, sedangkan penggantinya kedua yaitu Khawaja Ali yang merupakan Syiah moderat.
            Jika ditinjau dari sisi doktrin atau ajaran, kedua pendapat yang kontroversial tersebut, ada kemungkinan benarnya. Dalam ajaran Syiah dikenal dengan apa yang disebut Taqiyya, yaitu keharusan menyembunyikan identitas diri sebagai penganut aliran Syiah pada saat yang tidak memungkinkan untuk berterus terang. Dengan demikian, bisa saja Shafi Al-Din seorang yang beraliran Syiah yang melakukan Taqiyyah saat itu karena melihat ketidakmungkinannya untuk berterus terang. Demikian pula asumsi bahwa ia seorang Muslim Sunni yang bermazhab Syafi’i karena pendiri mazhab itu di samping sebagai seorang Muslim yang mencintai ahlul bait, juga seorang keturunan suku Quraisy dan tidak banyak permusuhan dengan kaum Syiah. Dalam realitas politik, praktik tahlil yang diamalkan oleh kaum Muslimin Syafi’iah, sebenarnya lebih merupakan  warisan doktrin Syiah ketimbang ajaran sekte Syafi’iah. Apalagi jika dilihat dari identitas yang menonjol pada pribadi Shafi Al-Din sebagai seorang sufi besar. Bukankah dalam dunia tasawuf, perbedaan aliran Sunni dan Syiah bukanlah merupakan perbedaaan yang esensial. Karena dalam sistem tasawuf (Tarekat) merupakan titik temu antara tradisi Sunni dan Syiah. Demikian pula, ajaran tasawuf dan sekte Syiah memiliki persamaan asal-usul dan sumber ajaran sehingga kontroversi mazhab yang terjadi pada pemimpin Safawi seperti Khawaja Ali bukan suatu yang luar biasa.
            Sejak Shafi Al-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat Shafawiyah pada 1301 M sampai pada Syah Ismail I memproklamirkan berdirinya kerajaan Safawi pada 1501 M, telah banyak pengalaman keluarga Shafawi dalam perjuangan menegakan cita-cita selama dua abad itu. Paling tidak ada dua tahap perjuangan yang dialui mereka. Pertama, sebagai gerakan keagamaan (kultural) dan kedua, sebagai gerakan politik (struktural).
            Pada masa 1301-1447 M gerakan Safawi masih murni gerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Selama masa ini Safawi meliliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga Syiria dan Anatolia. Mayoritas pengikut-pengikutnya adalah suku-suku Turki yang masih seminomad yang dikenal dengan sebutan Turkman yaitu di antaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Ashfar, dan Qajar.
            Dalam fase pertama ini, gerakan Safawiyah tidak mencampuri masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa Ikhwan ataupun pada masa Timur Lenk. Dalam politik yang suram itu dapat di mengerti mengapa tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat banyak. umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapatkan kekuatan mental. Hanya lewat persaudaraan tarekat mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar-Muslim.
            Selama fase pertama ini gerakan Shafawi mempunyai dua warna. Pertama, bernuansa sunni, yaitu pada masa pimpinan Safiudin Ishak (1301-1344 M) dan anaknya Shadrudin Musa (1344-1399 M). Kedua, berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali anak Shadrudin (1399-1427 M). perubahan tersebut tampaknya wajar saja terjadi karena di samping alasan yang sudah tersebut, juga ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawiyah di kalangan Syiah sehingga kepemimpinanya berusaha menyesuaikan diri dengan alairan mayoritas pendukungnya.[1]
            Ketika pimpinan tarekat dipegang oleh Junaid (1447-1460), aliran keagamaan ini memperluas gerakannya ke wilayah politik, hingga muncul keinginan untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Hingga tahap ini masih dipahami sebagai motivasi jernih (ikhlas) untuk memperluas syariat Islam sesuai dengan paham Junaid dalam tarekatnya. Setelah keinginan Junaid terwujud dengan berdirinya kerajaan Safawi yang di bawah Prolamatornya Syah Ismail. Sejak itu pula paham Syiah diterapkan sebagai agama resmi pemerintah[2]

C.    Peran Dinasti Safawiyah Bagi Peradaban Islam
            Peran kesejarahan Dinasti Safawiyah begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari sisi kemajuan dan kejayaannya. Kendati demikian, masa kemajuan kerajaan Safawi tidak berlangsung terwujud pada saat Dinasti itu berdiri  di bawah Ismail, raja pertama (1501-1524 M). kejayaan Safawi yang gemilang baru tercapai pada masa pemerintahan Syaikh Abbas yang Agung (1587-1626 M) raja yang kelima. Walupun begitu peran Ismail sebagai pendiri Shafawi sangat besar sebagai peletak pondasi kemajuan Safawi di kemudian hari. Di samping telah memberikan agama negara, Syaikh Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan strukutur pemerintahan yang unik pada masanya.
            Selama sepuluh tahun pertama pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah pemerintahan Safawi sampai mencakup wilayah Persia dan sebelah Timur Fertile Creschen. Ini diperolehnya dengan pengorbanan keberaniannya yang besar. [ada 1502 M, Ismail telah menduduki Syirwan, Azerbaijan, dan Irak. Pada 1503 M, ia menghancurkan sisa-sisa tentara Ak Konyulu di Hamadzan. Pada 1504 M ia berhasil pula menduduki provinsi Kaspia dari Mazandaran dan Gurgan. Diyar Bakr ditaklukannya pada tahu1505 M sedangkan Baghdad jatuh ke tangannya pada 1508 M. pada 1510 M ia mengusai Khurasan setelah ia terlibat dalam pertempuran dengan Syaibani Khan, Raja Uzbek. Kemenangan beruntun itu merupakan sukses mewujudkannya kerajaan Safawi yang membentang dari Heart (Harat) di Timur sampai Diyar Bakr di Barat.
            Mungkin karena kesuksesan besar itu, ia oleh para pengikutnya terutama Qizilbas sebagai pendukungnya, dianggap sebagai seorang raja yang memiliki unsur keilahian. Bahkan ia pun menganggap dirinya sebagai manifestasi Tuhan. Perlahan-lahan mitos tentang keilahian Syaikh Ismail itu goyah. Dalam pertempuran di Kalderan melawan pasukan Turki Utsmani, ia mengalami kekalahan besar. Beberapa daerahnya termasuk Tabriz jatuh ke tangan Turki. Ia terpaksa menandatangani perjanjian dengan Utsmani.[3]

D.    Wujud dan Corak Kemajuan Dinasti Safawi
a.      Kemajuan di Bidang Politik
Pengertian kemajuan dalam bidang politik di sini adalah terwujudnya integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata Dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbas yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi yang besar, pada masa awal dipandang Syah Abbas tidak bisa diharapkan lagi. Qizilbas hanya menjadi tentara nonreguler yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menopang citra politik Syah yang besar. Untuk itu dibangun angkatan bersenjata reguler. Inti satuan meiliter itu direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmas (1524-1576 M) mereka diberi gelar “ghulam”. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan di persenjatai secara modern sebagai pimpinannya, Syah Abbas mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Dalam membangun Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, yaitu Sir Antoni Sherli dan saudaranya, Sir Rodet Sherli. Mereka magajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara yang modern. Kedatangan dua orang Inggris itu oleh sebgaian sejarawan dipandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Ustmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris  itu, Syah Abbas memiliki tentara yang dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3000 Ghulam dijadikan “cakrabirawa” oleh Syah sendiri.[4]
b.      Kemajuan di Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawi masa Syah Abbas mengalami kemajuan di bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Pada akhir abad ke-15 Vasco De Gama, seorang pelaut Portugis menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan Selatan di Afrika.penemuan ini membuka fase baru dalam perkembangan dunia perdagangan internasional. Bangsa Eropa sendiri berlomba-lomba berlayar ke Timur untuk memperebutkan daerah-daerah perdagangan menguntungkan. Portugis pada akhir abad ke-16 telah mengusai paling tidak tiga kota dagang terpenting di sekitar Samudera Hindia, yaitu, Hormuz di Persia, Goa di India dan Malaka di Malaya. Sukses Portugis diikuti oleh bangsa-bangsa yang lainnya seperti Prancis, Inggris, Jerman, Belanda,dan Spanyol. Pada masa Abbas, Dinasti Safawi mengusai Hormuz, bahkan membangun sendiri kota dagang Bandar Abbas di teluk Persia. Dengan ini, Safawi telah memegang kunci perdagangan internasional di lautan, khususnya di teluk Persia yang ramai. Sedangkan di Utara, di laut Kaspia, Safawi juga menjalin hubungan dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia, tetapi melaui kota-kota penting Safawi, seperti Heart (Harat), Mrv, Nishafur, Tabriz dan Baghdad.
c.       Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia ini telah dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan bersahaja mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi Tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Shaerazy, generasi ilmu pengetahuan, Sadar Al-Din Al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad, Filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi lebih berhasil dari dua Kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.[5]
Pada masa Dinasti Safawi filsafat dan sains bangkit kembali di Dunia Islam, khususnya di kalangan orang-orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang diterapkan Dinasti Safawi sebagai agama resmi negara.
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akbari dan Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Yang pertama cendrung berpegang teguh kepada hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedangkan yang kedua mengambil langsung dari sumber ajaran Islam, Alquran dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujtahid. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa Safawi. Di bidang teologi mereka mendapat dukungannya dalam mazhab Mu’tazillah. Pertemuan kedua elemen kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di Dunia Islam yang kemudian melahirkan beberapa filsuf dan ilmuan.



d.      Kemajuan di Bidang Fisik dan Tata Kota
Ibu kota Safawi ialah kota yang sangat indah. Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas terhadap ibu kotanya, Sifahan. Pada saat ia mangkat di Isfahan terdapat 162 buah masjid, 48 buah perguruan tinggi, 1082 buah losmen yang luas untuk penginapan tamu-tamu khalifah dan 237 unit pemandian umum. Di antara yang paling terkenal ialah Masjid Syah yang mulai dibangun sejak 1611 M, Masjid Luthfullah yang dibangun pada 1603 M. Syah Abbas juga membangun istana megah yang disebut dengan Chihil Sutun atau Istana Empat Puluh Tiang, sebuah jembatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman Bunga Epat Penjuru.[6]

E.     Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Safawi
Sepeninggalnya Abbas I, kerajaan Safawi berturut-turut diperntah oleh enam raja, yaitu Shafi Mirza (1628-16-42 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (166701694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp (1722-1732 M), dan Abbas III (1732-1736 M). pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.
Shafi Mirza, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah dicapai pada masa Abbas I segara menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasan kerajan Safawi dan diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerjaan Turki Utsmani. Abbas II adalah seorang yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan-wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicundanginya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia kemudian diganti oleh Syah Husain yang alim. Pengganti Sulaiman ini memberikan kekuasaan yang besar kepada para ulama Syiah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawiyah.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah kekuasaan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan yang lainnya terjadi di Harat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays digantikan oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukan dengan pasukan Ardabil. Dengan gabungan kekuatan pasukan ini Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut negeri-negeri Afghanistan dari keuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha merebut dan menguasai Persia.
      Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Syah Husain akhirnya mengukui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagai gubernur di Qandahar dengan gelar Husain Quli Khan (budak Husain). Dengan pengakuan ini, Mir Mamud menjadi lebih leluasa bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut Isfahan, mengepungnya selama enam bulan dan memaksa Syah Husain untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober memasuki kota Ifahan dengan penuh kemenangan.
      Salah seorang putra Husain, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat keuasaaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir  Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan pada tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu tepatnya pada 8 Maret 1736 M, Nadir Khan menggangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian,berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.
      Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah Konflik yang berkepanjangan dangan kerajaan Turki Utsmani. Bagi kerajaan Utsmani, berdirinya kerajaan Shafawi yang beraliran Syiah merupakan ancaman langsung bagi wilayah keuasaannya. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Syah Abbas I. namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
      Penyebab lainnya adalah dekadensi (kemunduran) moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di samping pecandu berat nakotik, jiga menyenangi kehidupan malam beserta harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menanganni pemerintahan.
      Penyebab penting lainnya adalah kerena pasukan ghulam (budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini disebabkan kerena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rojani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki militansi dan semangat yang sama denngan anggota Qizilbash sebelumnya. Tidak kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk  kekuasaan di kalangan keluarga istana.[7]

             
           
                       
           
           
           


F.     Penutup
Pembahasan mengenai Dinasti Safawi di atas dapat disimpulkan bahwa, berdirinya kerajaan Safawi merupakan salah satu peristiwa kebangkitan Islam yang kedua. Kerajaan Safawi berdiri awal mulanya melalui tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Shafi AL-Din seorang sufi besar. Pada tahun 1501 M ketika Syah Ismail memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi secara resmi, maka ia menunjuk dirinya sebagai raja atau pemimpin Safawi di Tabriz. Kerajaan Safawi cukup berpengaruh bagi sejarah peradaban dunia pada saat itu, karena masa kemajuan kerajaan Safawi dalam segala bidang mulai menunjukan hal yang positif. Kemajuan-kemajuan kerajaan Safawi mencapai kejayaannya pada masa Abbas I. Kemajuan-kemajuan yang dapat dilihat dari berbagai bidang seperti, bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahun, dan fisik serta tata kota. Kemajuan yang dialami kerajaan Safawi tidak berlangsung lama dan tibalah masa yang mulai melemahkan kerajaan Safawi. Kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi disebabkan oleh berbagai faktor seperti, merosotnya moral para pemimpin Safawi, terjadinya konflik dengan kerajaan lain, dan sering terjadinya perebutan kekuasaan didalam kerajaan itu sendiri. Hal itu mengakibatkan kerajaan Safawi lemah dan mulai menunjukan kemunduran dan kehancuran.













Daftar Pustaka
Ajid Thohir, Perkembangan Perdaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar sejarah, Soial, Polirik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.


[1] Ajid Thohir, Perkembangan Perdaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar sejarah, Soial, Polirik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 166-170.
[2] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 136-137
[3] Ibid, hlm.173-174.
[4] Ibid, hlm.174-175
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 144.
[6] Ajid Thohir, Op-Cit, hlm. 176-177.
[7] Badri Yatim, Op-Cit, hlm156-159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar