A. Pendahuluan
Pengertian Historiografi Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif, adalah kejadian sejarah yang sebenarnya. Terjadi hanya sekali dan bersifat unik (History of Actuality). Sejarah dalam arti subyektif ialah gambaran atau cerita serta tulisan tentang suatu kejadian (History as Written atau Historiografi).
Dari sudut etimologis, semula berasal dari bahasa Yunani: Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian secara harafiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para sejarawan mengacu pada pengertian historia, sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah. Dalam makalah ini kami mencoba memaparkan tentang Historiografi dari Portugis dan Belanda dengan mengacu sumber-sumber yang kami dapat.
B. Masuknya Bangsa Portugis Ke Indonesia
Pada tahun 1511, Malaka jatuh ke tangan orang Portugis dan pada bulan Desember tahun tahun yang sama Albuquerque mengirim sebuah ekspedisi untuk mencari Maluku. Ekspedisi tersebut terdiri dari 3 kapal dan 120 awak Portugis.ia dikepalai oleh Antonio de Abreu, sedangkan Francisco Serrao memimpin salah satu kapal. Fernao de Magalhaes merupakan seorang anggota ekspedisi tersebut. Kapal-kapal Portugis berlayar sepanjang pantai Sumatra. Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores, dimana mereka mengubah haluan ke utara dan mencapai Banda pada pertengahan tahun 1512. Dari sana Antonio de Abreu langsung kembali ke Malaka tanpa melanjutkan perjalanan ke Ternate, sebab kapalnya sedang keadaan parah sekali. Kapal Francisco Serrao karam, dan ia diselamatkan oleh penduduk Hitu pulau Ambon. Dari sana ia dikirm ke sultan Ternate, di mana ia menjadi penasihat akrab sultan dan tangan kanannya dalam persoalan peperangan. Kelihatannya surat-surat yang dikirim Farancisco ke Malaka telah mendorong Magalhaes untuk membayang kan hipotesa mencoba mencapai Maluku melalui rute barat. Namun, Serrao meninggal di Ternate pada tahun 1521, beberapa bulan sebelum tibanya armada Spanyol pimpinan Magalhaes. Ia meninggalkan seorang janda dan dua orang anak laki-laki.[1]
C. Historiografi Dari Portugis Untuk Indonesia
J.C Van Leur mengatakan: dalam hubungan ini tidak mungkin untuk melebih-lebihkan arti penting dari bahan-bahan sumber Portugis bagi sejarah awal Indonesia, karena sumber-sumber itu memberikan gambaran tentang dunia Indonesia sebelum ada pengaruh Eropa manapun. Sejarawan Inggris dalam bidang sejarah Asia Tenggara menulis “dalam kedatangan bangsa Portugis ke Asia Tengara pada awal Abad ke-16, usaha-usaha serius pertama kali diadakan untuk mengadakan apa yang dapat kita sebut survey daerah di wilayah ini. Survey ini memiliki berbagai keterbatasan, agak terburu-buru dan tidak mendalam, serta agak mencerminkan berbagai prasangka : tetapi, pada umumnya berisi banyak keterangan, judul, dan bernilai ilmiah sebanyak yang dapat diharapkan dari pengembara Eropa yang baru pertama kali bertemu dengan bangsa-bangsa asing serta kebudayaan suatu benua lain lebih dari 400 tahun silam”.
Penyelidikan terhadap beberapa sumber Portugis yang menyangkut sejarah Indonesia dapat membuktikan manfaatnya.
1. Catatan-catatan resmi awal masa terjadinya kontak langsung dengan bangsa Portugis (kira-kira tahun 1511-1650).
2. Cerita-cerita lain dari laporan-laporan saksi mata.
3. Karya-karya dari penyebar agama.
Joao de Barros (kurang lebih 1496-1570) sebagai factor di Wisma india, Barros dalam waktu luangnya yang sedikit itu, menyusun karya sejarahnya yang besar tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Portugis ketika menemukan dan menaklukan lautan-lautan dan Negara-negara Timur, yang kemudian diterbitkan dengan judul Himpunan Decadas da Asia. Rancangan pertama dari karya yang monumental ini selesai pada tahun 1539, tetapi 10 tahun kemudian ia masih memasukan tambahan-tambahan. Dan penerbitan kitab itu baru dimulai pada tahun 1552. Jilid kedua yagn dicetak pada tahun berikutnya, jilid ketiga menyusul pada tahun 1563, tetapi jilid ketiga dari rancangan Barros yang belum selesai itu baru diterbitkan pada tahun 1615. Keempat jilid ini hanya memuat sejarah sampai tahun 1538 dan dilanjutkan oleh Diego do Couto seperti yang akan dibentangkan berikut ini.
Baros juga menulis sejumlah karya yang lebih khusus sifatnya tentang Geografi Asia, perniagaan dan pelayaran, yang kerap disebut dalam bukunya Decadas, tetapi sayang sekali ini semua hilang sesudah ia meninggal. Sebagai penulis resmi sejarah petualangan Portugis di Hindia demi manfaat demi generasi-generasi yang akan datang Barros tentu saja condong menutupi kesalahan mereka walaupun ia juga mempunyai pandangan yang kritis dan tidak dalam segala hal memaafkan kesalahan tersebut. Ia benar-benar “imperialis”. Tulen menurut pengertian istilah tersebut pada abad ke-19, dan sungguh percaya bahwa Portugis mempunyai tugas suci untuk menyebarkan Agama dan kekuasaannya, dalam keadaan tertentu dengan jalan kekerasan dalam zamannya dan dengan pendidikannya (dilingkungan istana Portugis tidak ada seorang Las casas), setiap penelitian hampir tidak terelakan, tetapi ini diimbangi terutama oleh minatnya terutama peradaban di Asia dengan latar belakang Geografi maupun ekonomi yang beragam. [2]
D. Masuknya Bangsa Belanda ke Indonesia
Pada abad ke-14 kekuasaan Kesultanan Turki sedang menguasai sebagian Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa. Pedagang-pedagang dari Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah–rempah dari Lisabon.
Pengangkutan rempah-rempah dari Lisabon mendatangkan keuntungan banyak bagi pedagang-pedagang Belanda yaitu mengeluarkan kembali ke Jerman dan Negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara Belanda dan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan perang delapan puluh tahun mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan menjadi tidak lancer. Pada tahun 1580 Spanyol berhasil menduduki Portugal dan kemudian Raja Spanyol Philipos II, yang mengetahui kemakmuran perdagangan Belanda sebagian besar didapat dari Portugal, maka ia melarang kapal-kapal Belanda mengunjungi Bandar-bandar di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu perdagangan Belanda terhenti. Kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena persediaan barang berkurang.
Situasi perang antara Belanda dan Spanyol itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda mengalami kemunduran dan kesukaran, apalagi sering terjadi perompakan-perompakan kapal dagang oleh pelaut Inggris dan Spanyol. Hal inilah yang kemudian mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan dengan Negara-negara di Asia sebagai penghasil cengkeh dan lada, tanpa diketahui patroli Spanyol.
Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan dengan melalui persiapan dan rencana yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi seperti Pancius, diserahi peta dunia dan dimintai pendangan-pandangannya. Ketika itu sekitar tahun 1593 terbitlah sebuah buku dalam bahasa Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia dan mengenai Jindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama, barang dagang yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia tersebut. Pengarang buku tersebut pernah mengikuti ekspedisi Portugis ke Asia dan pernah tinggal di Goa, India.
Untuk menghindari pengejaran tentara Portugis, maka beberapa pedagang Belanda, dibantu oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba mengarungi Laut Es, sebelum Eropa Utara dengan perhitungan akan memperoleh jalan tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali ekpedisi itu dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami kegagalan. Kapal mereka terjepit dilautan es di pulau Nova Zembla, sehingga separuh anak buah kapal meninggal karena kedinginan. Laksamana Jacob van heemskerck yang memimpin pelayaran itu ke Amsterdam dengan susah payah mengabarkan kegagalan eskpedisinya.
Akhirnya pedagang-pedagang Belanda mempersiapkan empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia melalui Tanjung Harapan. Pada tanggal 2 April 1595 kapal tersebut bertolak dari pangkalan Tessel, Belanda Utara, dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan perdagangan dan Pieter de Keyser mengepalai urusan navigasi.
Karena adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi pertama ini, maka sering terjadi keributan yang berasal dari perbedaan pendapat diantara keduanya. Hal ini akhirnya menimbulkan perkelahian diantara anak buah kapal, sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas. Namun demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengan keberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596.[3]
E. Historiografi Kolonial Pada Masa Hindia Belanda (1816-1942)
Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Tanpa itu, penelitian mengenai aspek mana pun dari sejarah Indonesia mustahil dilakukan. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Seorang sejarawan Indonesia berhak bertanya: apa peduliku pada berita-berita yang dicatat oleh suatu bangsa lain selain bangsa Indonesia? Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.
Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC yang dijajarkan dalam almari arsip negara di den haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belanda—sebagian dari antaranya sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli—sepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Tentu sangat ganjil bila himpunan yang begitu banyak tidak mengandung penjelasan tentang sekurang-kurangnya beberapa hal yang bersifat non-eropa.
Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17, ketika ketidaktahuan Eropa tentang asia, para pegawai VOC harus menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan semata.
Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.
Sampai kini, kita hanya mampu meninjau sumber-sumber untuk sejarah Indonesia sebagaimana yang sampai kepada kita dari zaman kompeni Hindia Timur Belanda. Pada akhir abad ke-18 kompeni mundur dengan cepat. Kompeni tidak berhasil mengatasi pukulan-pukulan di bidang keuangan yang dideritanya selama perang Inggris-Belanda pada tahun 1780-1784. Pada tahun 1796 para direkturnya terpaksa menyerahkan kekuasaan mereka kepada sebuah panitia yang dibentuk oleh kaum revolusioner pro-Perancis, yang telah merebut kekuasaan di negeri Belanda pada tahun sebelum itu, dan pada tanggal 31 desember 1799 kompeni dibubarkan.
Dalam jangka waktu enam belas tahun setelah itu, bangsa Perancis dan Inggris menguasai harta milik Belanda di Indonesia. Sampai tahun 1811 bangsa Belanda secara nominal masih memerintah Indonesia, tetapi penguasa yang sebenarnya dari kepulauan Hindia dan juga negeri Belanda sendiri adalah Napoleon. Pada bulan september tahun 1811, jawa jatuh ke tangan Inggris sampai tahun 1816, dimana seluruh bekas milik Belanda di kepulauan tersebut dikembalikan kepada Belanda, sesuai dengan konvensi London. ”Pemerintah Hindia Belanda” dilantik di Batavia pada 19 Agustus 1816, dan tetap memegang kekuasaan Belanda di Indonesia sampai saat mereka diusir Jepang pada tahun 1942.
Pemerintah baru itu membawa ke Indonesia suatu jenis tata pemerintahan yang lain dari semua jenis tata pemerintahan yang pernah ada di negeri ini sebelumnya. Kompeni Hindia Timur merupakan perusahaan dagang yang mengejar laba, yang hanya memikirkan transaksi jual beli dengan mengesampingkan apa saja. Kompeni tidak memiliki misi budaya, tidak berhasrat melakukan campur tangan dalam tata cara hidup rakyat yang diajak berniaga.
Sumber-sumber non-pemerintah memiliki keadaan yang sama. Sejak abad ke-17 dan ke-18, hanya sedikit bahan yang selamat, kecuali dokumen-dokumen kompeni Hindia Timur, karena kompeni adalah satu-satunya organisasi Belanda yang aktif di wilayah itu. Tetapi pada abad ke-19 dan abad ke-20 muncul semua jenis badan hukum non-pemerintah: perusahaan dagang, serikat buruh, partai politik, bank, perusahaan asuransi, maskapai pelayaran, perusahaan tambang, kantor impor dan ekspor, sekolah, perkumpulan missionaris, dan sebagainya. Bagian terbesar diantaranya adalah organisasi orang Belanda, atau setidaknya yang menggunakan bahasa Belanda. Semuanya mempunyai hubungan erat dengan hal ihwal Indonesia, dan laporan-laporan mereka harus dianggap sebagai bahan-bahan sumber Belanda asli untuk sejarah Indonesia.
a. Manuskrip
Arsip-arsip bekas Kementrian Urusan Jajahan terbagi atas dua seksi utama: arsip kementrian itu sendiri dan salinan terjemahan-terjemahan pemerintah Hindia Belanda yang dikirimkan ke negeri Belanda dari Batavia.
1 Berita-berita kementrian urusan daerah jajahan.
Seri yang terkenal dengan nama Gewoon Archief (arsip biasa) ini, meliputi surat-surat yang keluar dan masuk sehari-hari dari kementrian ini tentang semua masalah yang ada pada waktu itu tidak dianggap bersifat rahasia. Berkas sejumlah 1906 buah yang meliputi jangka waktu 1814-1849 ditempatkan di dalam gudang utama di Bleijenburg, Den Haag. Yang lebih penting bagi para sejarawan Indonesia ialah Geheim Archief (arsip rahasia). Pada abad ke-19 banyak masalah yang digolongkan rahasia, yang sekarang dalam keadaan yang sama tidak akan dimasukan ke dalam jenis itu. Karena itu, Geheim Archief lebih kaya dalam segi penjelasan umum dibandingkan dengan yang mungkin terbayang melalui namanya. Antara lain terkandung di dalamnya pembahasan mengenai rancangan kebijakan, pernyataan pendapat mengenai tindakan pemerintah pada masa lampau, dan uraian tentang perundingan dengan negara dan orang asing. Memang rupanya segala sesuatu yang seandainya diumumkan akan dapat menyulitkan pemerintah, telah dimasukan ke dalam Geheim Archief dan bukannya Gewoon Archief. Tentu saja hal itu menyebabkan orang menduga bahwa yang tersebut pertama lebih dapat diandalkan karena merupakan sumber yang lebih bebas pengungkapannya.
Berkas-berkas lain dari kementrian urusan jajahan yang bertalian dengan sejarah Indonesia mencakup Kabinetsarchief, yang memuat keterangan mengenai transaksi dan keputusan pribadi para menteri urusan jajahan yang silih berganti, maupun sekitar tiga puluh kumpulan dokumen rahasia yang diserahkan kepada arsip negara oleh para pejabat yang bertugas di bawah pemerintah Hindia Belanda atau oleh anak cucu mereka.
2. Berkas-berkas pemerintahan Hindia Belanda.
”Dekrit Hindia Timur” di mana termuat transaksi-transaksi pemerintahan Hindia Belanda, terbagi ke dalam empat sub-judul. Pertama, dibagi menjadi dekrit ”biasa” dan dekrit ”rahasia”; kedua, dibagi menjadi Dekrit Gubernur Jenderal dalam kedudukannya di dewan (”in rade”) dan Dekrit Gubernur-Jenderal yang bertindak dalam kedudukannya sendiri (”buiten rade”). Dengan Regeeringsreglement tahun 1836, dewan Hindia (”raad van indie”) dilucuti fungsi eksekutifnya dan menjadi badan penasihat saja. Karenanya, sejak itu semua dekrit dikeluarkan oleh gubernur jenderal sendiri. Tetapi, sebelum tahun 1836 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri dalam beberapa hal, tetapi tidak dalam semua hal. Karena itu dekrit-dekrit yang muncul sampai tahun 1836 keluar di bawah dua sub-judul: ”in rade” dan ”buiten rade”.
Berikut ini adalah daftar dari pelbagai Koleksi Dekrit Hindia Timur sebagaimana yang terbagi-bagi di dalam arsip negara:
1. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan, 1819- 1836
2. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan, 1819- 1834
3. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri, 1814- 1849
4. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Dekrit Hindia Timur), 1830- 1932
5. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri 1819- 1836
b. Terbitan Resmi
Laporan tahunan pemerintah Hindia Belanda kepada Majelis Perwakilan Tinggi dikenal dengan nama Verslagen, terbit sebagai pelengkap bagi Staatscourant (diterbitkan di Belanda) sejak tahun 1851/2 dan seterusnya. Fakta dan angka resmi serta rincian undang-undang, ordonasi dan peraturan pemerintah yang dapat diterapkan di Indonesia, dapat diperoleh dari Almanak van Nederlandsch-Indie dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie serta Javasche Courant.
Pengumuman tentang kebijakan pemerintah, dan banyak informasi kecil lainnya, dapat ditemukan dalam Handelingen der 1e en 2e Kamer der Staten-Generaal (Laporan Tentang Perdebatan Parlemen). Handelingen van den Volksraad, (Transaksi-Transaksi Dewan Rakyat), diterbitkan sejak tahun 1918 dan seterusnya, yakni tahun pelantikan Volksraad atau parlemen Hindia Belanda. Banyak bahan untuk sejarah hukum, sejarah sosial dan sejarah ekonomi dapat juga ditemukan dalam laporan tahunan pelbagai kementerian pemerintah Hindia Belanda.
c. Sarana Bantu Penelitian
Akhirnya dapat disebutkan dua terbitan yang bersama-sama memberi uraian yang boleh dikatakan lengkap tentang sumber-sumber tercetak mengenai sejarah Indonesia yang ada dalam bahasa Belanda. Keduanya mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi referensi yang diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita untuk membedakan yang satu dari yang lainnya.
Yang pertama adalah Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 1908-1937). Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang jajahan Belanda yang muncul sampai tahun 1935. karena itu katalog ini dapat dianggap sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir lengkap yang ditulis sampai tahun itu.
Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan lain-lain, ed., Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid, 1877-1935). Karya ini merupakan catalogue raisonne dari semua artikel dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi perkumpulan-perkumpulan ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di seberang lautan, dan diterbitkan dalam wilayah itu atau di negeri Belanda antara tahun 1595-1932. Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli secara melimpah ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya terdapat di dalam repertorium, terdapat banyak terjemahan kronik Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan laporan serta notulen asli dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.
Dalam historiografi kolonial ini memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial.
Oleh karena motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.
Selain itu, ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Europa-Centrisme atau yang lebih fokusnya adalah Neerlando-Centrsime. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder.[4]
F. Penutup
Kesimpulan
Sejarawan Inggris mengatakan bahwa pada awal abad ke-16 usaha-usaha bangsa Portugis pertama kalinya adalah melakukan survey terhadap wilayah Asia Tenggara. Penyelidikan terhadap bangsa Portugis yang menyakut bangsa Indonesia dapat dibahas secara singkat seperti, catatan-catatan resmi mengenai awal terjadinya kontak antara Portugis dan Indonesia, cerita-cerita lain dari saksi, dan karya dari beberapa penyebar agama. Salah satu penulis resmi sejarah petualangan bangsa Portugis di Hindia seperti Joao de Barros membuat karya ilmiah mengenai perbuatan-perbuatan Portugis ketika menaklukan lautan dan Negara-negara timur yang kemudian karyanya di sebut Decadas da Asia. Karya tersebut terbit hingga 4 jilid.
Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Sumber dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda sendiri ada yang berupa Arsip-arsip bekas Kementrian Urusan Jajahan terbagi atas dua seksi utama: arsip kementrian itu sendiri dan salinan terjemahan-terjemahan pemerintah Hindia Belanda yang dikirimkan ke negeri Belanda dari Batavia. Selain itu ada yang berupa terbitan resmi yang mencakup undang-undang, ordonasi dan peraturan pemerintah yang dapat diterapkan di Indonesia.
Ciri dari historiografi kolonial ini adalah memiliki sifat neerlando-centrisme yang menulis tentang sejarah dan perkembangan kolonisasi belanda pada daerah jajahan (indonesia). Sang penulis historiografi ini sendiri adalah orang-orang asing
Daftar Pustaka
Antonio Pinto da Franca, Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1998.
Halwani Microb, Proses Islamisasi Di Banten Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten. Jakarta : Bp3es. 2001.
Soedjatmoko, Historiografi Indonesi Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1995.
[1] Antonio Pinto da Franca, Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal 19-21.
[2] Soedjatmoko, Historiografi Indonesi Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal 189-191.
[3] Halwani Microb, Proses Islamisasi Di Banten Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten. Jakarta : Bp3es. Hal 55-57.
[4] Soedjatmoko,op-cit. hal 215-219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar