Islam di Singapura
Singapura adalah sebuah pulau yang terletak diujung Semananjung Tanah Melayu, yang awalnya bernama "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" -Selat,dan berikutnya Temasek", "Tumasik"(Jawa),"Tam-ma-sik"(China). Istilah Singapura sediri muncul pada tahun 1299 ketika Pangeran Sang Nila Utama singgah di pulau ini dan menemukan seekor binatang seperti Singa, sehingga pulau itu disebut Lion City(Kota Singa). Versi lain mengatakan bahwa pada abad ke-14 pulau ini menjadi tampat singgahnya para pedagang Majapahit sehingga Singapura bararti “kota” (Pura) “singgah” (Singgah).
Sebagai sebuah negara imigran yang era modernnya selalu dihitung sejak Stamford Raffles menemukan pada tahun 1819, mendapatkan kemerdekaan penuhnya pada 9 Agustus 1965 dan selanjutnya bergabung menjadi salah satu anggota PBB dengan presiden pertama Yusof bin Ishak.
Sebagai sebuah negara imigran yang era modernnya selalu dihitung sejak Stamford Raffles menemukan pada tahun 1819, mendapatkan kemerdekaan penuhnya pada 9 Agustus 1965 dan selanjutnya bergabung menjadi salah satu anggota PBB dengan presiden pertama Yusof bin Ishak.
Penduduk Negara pulau ini adalah multenis. Dari jumlah penduduk 4.131.200 jiwa, etnis China sebanyak 79.7%, Melayu 13.9%, India 7.9%, dan etnis lain sekitar 1.5%. dengan demikian etnis China adalah etnis mayoritas, disusul Melayu dan India. Etnis melayu sebagian besar berasal dari imigran Sulawesi, Bawean, dan lain-lain.
Singapura menganut sistem sekuler, di mana pemerintah menerapkan netralitas terhadap semua agama yang ada. Berdasarkan hasil sensus tahun 2000, diketahui bahwa penduduk singapura yang berumur di atas 15 tahun menganut beberapa agama, yaitu Budha 42.5%. Islam 14.9%, Kristen 14.6%, Tao 8.5%, Hindu 4.0% dan Agama lain (Yahudi, Zoroaster,dll 0.6%). Kecuali itu, masih ada sekitar 14.8% yang tidak memiliki atau menganut agama tertentu.
Singapura menganut sistem sekuler, di mana pemerintah menerapkan netralitas terhadap semua agama yang ada. Berdasarkan hasil sensus tahun 2000, diketahui bahwa penduduk singapura yang berumur di atas 15 tahun menganut beberapa agama, yaitu Budha 42.5%. Islam 14.9%, Kristen 14.6%, Tao 8.5%, Hindu 4.0% dan Agama lain (Yahudi, Zoroaster,dll 0.6%). Kecuali itu, masih ada sekitar 14.8% yang tidak memiliki atau menganut agama tertentu.
Islam masuk ke Singapura tidak dapat dipisahkan dari proses masuknya Islam ke Asia Tenggara secara umum, karena secara geografis Singapura hanyalah salah satu pulau kecil yang terdapat di tanah Semenanjung Melayu. Pada fase awal, Islam yang disuguhkan kepada masyarakat Asia Tenggara lebih kental dengan nuansa tasawuf. Karena itu, penyebaran Islam di Singapura juga tidak terlepas dari corak tasawuf ini. Buktinya pengajaran tasawuf ternyata sangat diminati oleh ulama-ulama tempatan dan raja-raja Melayu. Kumpulan tarekat sufi terbesar di Singapura yamg masih ada sampai sekarang ialah Tariqah ‘Alawiyyah yang terdapat di Masjid Ba’lawi. Tarekat ini dipimpin oleh Syed Hasan bin Muhannad bin Salim al-Attas. Selain tarekat itu juga dijumpai tarekat Al-Qadiriyyah Wa al Naqshabandiyyah yang berpusat di Geylang Road yang dikelola oleh organisasi PERPTAPIS (Persatuan Taman Pengajian Islam). Tarekat ini berasal dari Suryalaya, Tasik Malaya, Jawa Barat. Gurunya bernama K.H Ahmad Tajul ‘Ariffin dan Haji Ali bin Haji Muhammad. Tarekat lainnya yang diamalkan di Republik Singapura ialah Al-Shaziliyyah, Al-Idrisiyyah, Al-Darqawiyyah dan Al-Rifa’iyyah.
Para ulama asal Yaman (Hadramaut) yang bernama Syed Abu Bakar Taha Alsaggof dalam mengembangkan Islam di Singapura sangat besar. Dialah dai dan penyebar Islam pertama era modern di negeri pulau itu dan membuka lembaga pendidikan Islam, yakni Madrasah Al-Juneid yamg masih eksis sampai saat ini.
Wajah Islam di Singapura tidak jauh beda dari wajah muslim di negeri jirannya, Malaysia. Banyak kesamaan, baik dalam praktek ibadah maupun dalam kultur kehidupan sehari-hari. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh sisa warisan Malaysia, ketika Negara kecil itu resmi pisah dari induknya, Malaysia, pada tahun 1965.
Wajah Islam di Singapura tidak jauh beda dari wajah muslim di negeri jirannya, Malaysia. Banyak kesamaan, baik dalam praktek ibadah maupun dalam kultur kehidupan sehari-hari. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh sisa warisan Malaysia, ketika Negara kecil itu resmi pisah dari induknya, Malaysia, pada tahun 1965.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Singapura selalu berupaya untuk memajukan diri mereka seiring dengan kemajuan negaranya. Pemodernan pemikiran umat Islam Singapura berpengaruh pula terhadap berkurangnya mitos dan kepercayaan kepada Khufarat, sehingga semakin mulai menuju kepada cara beragama yang lebih rasional. Berdasarkan keterangan sebelumnya, Singapura modern sering dihubungkan dengan masukknya Sir Stamford Raffles ke pulau itu pada tahun 1819. Waktu itu Singapura hanya didiami oleh lebih kurang 120 orang Melayu (termasuk dari keturunan Bugis, Jawa, dan lainnya) dan 30 orang Cina.
Tahun 1901, jumlah orang Melayu itu berkembang menjadi 23.060 orang, yang terdiri dari 12.335 orang penduduk asli kepulauan Melayu, hampir 1000 orang keturunan arab, dan 600 orang keturunan Jawa. Jumlah penduduk Singapura secara keseluruhan pada waktu itu sekitar 228.555 orang, dengan 72% etnis Cina. Orang Melayu awalnya tinggal dikawasan Kampung Gelam yaitu suatu kawasan di pesisir sungai. Di sekitar Kampung Gelam tersebut mereka hidup secara bersamaan dengan orang-orang keturunan Bugis, Boyan, Jawa dan Arab. Dengan demikian, secara umum muslim Singapura terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu etnis Melayu sekitar 90%. Sisanya adalah etnis non-Melayu (India, Timur Tengah, Indonesia, dan lain-lain) sekitar 10%. Sementara itu, pada tahun 1947 bilangan penduduk-nya bertambah menjadi 940.824(115.735 Melayu dan 730.133 Cina).
Pada tahun 1957 menunjukan bahwa penduduk Singapura telah meningkat kepada 1.445.929 orang (1.090.596 Cina, 197.059 Melayu/Indonesia, 124.084 India/Pakistan dan 34.190 lainnya). Di akhir tahun 1976, jumlah penduduk Singapura adalah 2.294.900 orang (17% orang Islam dan 15% dari itu adalah orang Melayu).
Menurut istilah Sharon Siddique, muslim Singapura dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu migrant yang berasal dari dalam dan luar wilayah. Migrant dari dalam wilayah berasal dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Riau dan Bawean. Kelompok ini selalu diidentikkan ke dalam etnis Melayu. Adapun kelompok migrant dari luar wilayah dibagi menjadi dua kelompok penting, yaitu muslim India yang berasal dari subkontinen India (Pantai Timur dan Pantai Selatan India) dan keturunan Arab, khususnya Hadramaut. Dengan demikian, Sharon berpandangan bahwa muslim Singapura adalah para migran.
Migran yang berasal dari luar wilayah secara umum berasal dari golongan muslim yang kaya dan terdidik. Kelompok ini pula akhirnya membentuk kelompok elit social dan ekonomi Singapura. Mereka mempelopori perkembangan Singapura sebagai pusat pendidikan dan penerbitan muslim. Disamping itu, mereka juga sebagai penyumbang dana terbesar untuk pembangunan mesjid, lembaga pendidikan dan organisasi social Islam lainnya. Di antara mereka itu dikenal dengaan keluarga al-Segat, al-Kaff, dan al-Juneid.
Menurut istilah Sharon Siddique, muslim Singapura dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu migrant yang berasal dari dalam dan luar wilayah. Migrant dari dalam wilayah berasal dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Riau dan Bawean. Kelompok ini selalu diidentikkan ke dalam etnis Melayu. Adapun kelompok migrant dari luar wilayah dibagi menjadi dua kelompok penting, yaitu muslim India yang berasal dari subkontinen India (Pantai Timur dan Pantai Selatan India) dan keturunan Arab, khususnya Hadramaut. Dengan demikian, Sharon berpandangan bahwa muslim Singapura adalah para migran.
Migran yang berasal dari luar wilayah secara umum berasal dari golongan muslim yang kaya dan terdidik. Kelompok ini pula akhirnya membentuk kelompok elit social dan ekonomi Singapura. Mereka mempelopori perkembangan Singapura sebagai pusat pendidikan dan penerbitan muslim. Disamping itu, mereka juga sebagai penyumbang dana terbesar untuk pembangunan mesjid, lembaga pendidikan dan organisasi social Islam lainnya. Di antara mereka itu dikenal dengaan keluarga al-Segat, al-Kaff, dan al-Juneid.
Secara akademis belum ada pendapat yang pasti tentang asal usul migrant dalam wilayah. Dari beberapa kajian ada yang berpendapat mereka itu berasal dari Riau, Pahang, Terengganu, Kelantan. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang perkembangan dan kondisi objektif Melayu-Islam Singapura, di sini perlu sedikit diuraikan tentang posisi masjid di Singapura. Masjid sebagai tempat ibadah bagi umat Islam mendapat model dan perhatian khusus bagi Melayu-muslim, sehingga wajar saja kalau masjid menjadi tempat terselenggaranya berbagai kegiatan.
Sejauh pengamatan penulis, masjid-masjid di Singapura tidak hanya sebatas tempat ritual (ibadah) semata sebagaimana di Indonesia. Akan tetapi,sekaligus sebagai Islamic Center, tempat terselenggaranya segala aktivitas dan studi-studi ilmiah lainnya seperti pengkajian. Masjid di Singapura hingga saat ini berjumlah 84 buah.
Semua masjid ini umumnya memilki suatu lembaga yang di manage secara professional dan memiliki administrasi yang serba mapan. Kebersihan masjid selalu terpelihara secara baik. Sejauh pengamatan penulis tak satupun yang tidak terawat sebagaimana kondisi masjid-masjid yang ada di-Indonesia.
Semua masjid ini umumnya memilki suatu lembaga yang di manage secara professional dan memiliki administrasi yang serba mapan. Kebersihan masjid selalu terpelihara secara baik. Sejauh pengamatan penulis tak satupun yang tidak terawat sebagaimana kondisi masjid-masjid yang ada di-Indonesia.
Problematika dan Posisi Melayu-Muslim
1. Ekonomi
Dibanding dengan Negara-negara minoritas muslim lainnya di kawasan Asia-Tenggara, Singapura merupakan sebuah Negara yang relative kaya. Hal ini secara teoritis tentunya tedampak pula pada kondisi umat islamnya.
Sejarah Melayu Singapura menunjukkan pada awalnya kondisi ekonomi masyarakat Melayu-Muslim sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Mereka bekerja pada sektor-sektor strategis dan 70% bekerja dikawasan kota, hanya 30% saja yang bekerja di kawasan kampung. Hal ini sebagai bukti bahwa sejak awal orang Melayu-muslim telah menjadi etnis yang memiliki tingkat ekonomi yang memuaskan. Dengan demikian, orang Melayu identik dengan nuansa hidup kota. Kondisi ini amat berbeda dengan yang terjadi saat ini. Sekarang, secara umum tingkat perekonomian Melayu-muslim berada jauh di bawah etnis lain. Bahkan, mereka selalu disebutkan kelompok marjinal secara ekonomi. Ini disebabkan arus imigran Cina terus meningkat dan leluasa memasuki kawasan Singapura.
Sejarah Melayu Singapura menunjukkan pada awalnya kondisi ekonomi masyarakat Melayu-Muslim sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Mereka bekerja pada sektor-sektor strategis dan 70% bekerja dikawasan kota, hanya 30% saja yang bekerja di kawasan kampung. Hal ini sebagai bukti bahwa sejak awal orang Melayu-muslim telah menjadi etnis yang memiliki tingkat ekonomi yang memuaskan. Dengan demikian, orang Melayu identik dengan nuansa hidup kota. Kondisi ini amat berbeda dengan yang terjadi saat ini. Sekarang, secara umum tingkat perekonomian Melayu-muslim berada jauh di bawah etnis lain. Bahkan, mereka selalu disebutkan kelompok marjinal secara ekonomi. Ini disebabkan arus imigran Cina terus meningkat dan leluasa memasuki kawasan Singapura.
2. Pendidikan
Sejarah awal munculnya pendidikan Islam di Singapura tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pendidikan islam telah ada pada pase awal kedatangan islam ke Singapura itu sendiri. Pendidikan islam di Singapura di sampaikan para ulama yang berasal dari negeri lain di Asia Tenggara atau dari Negara Asia Barat dan dari benua kecil India. Para ulama tersebut diantaranya ialah Syaikh Khatib Minangkabau, Syaikh Tuanku Mudo Wali Aceh, Syaikh Ahmad Aminuddin Luis Bangkahulu, Syaikh Syed Usman bin Yahya bin Akil (Mufti Betawi), Syaikh Habib Ali Habsyi (Kwitang Jakarta), Syaikh Anwar Seribandung (Palembang), Syaikh Mustafa Husain (Purba Baru Tapanuli), Syaukh Muhammad jamil Jaho (Padang Panjang) dll. Seperti di Negara lain, pendidikan agama Islam di Singpura dijalankan mengikuti tradisi dan system persekolahan modern. System tradisional, mengikuti pola pendidikan Islam berdasarkan system persekolahan pondok Malaysia dan Patani atau pesantren di Indonesia.
Adapun system modern adalah melalui system sekolah yang merujuk ke Mesir dan Barat, yang dikenal dengan madrasah, sekolah arab atau sekolah agama. Ada empat madrasah terbesar di Singapura sampai saat ini, yaitu :
a. Madrasah al-Junied al-Islamiyyah, didirikan pada bulan muharam 1346H (1927M) oleh pangeran Al-Sayyid Umar bin Ali al-Junied dari Palembang. Mata pelajaran yang diajarkan dimadrasah ini adalah ilmu Hisab, Tarikh, Ilmu Alam, Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, Sains, Sastra Melayu dan mata pelajaran lainnya.
b. Madrasah al-Ma’arif, didirikan pada tahun 1940-an. Pengasuh madrasah ini adalah lulusan universitas al-Azhar, Mesir dan dari kawasan Asia Barat.
c. Madrasah Wak Tanjung Al-Islamiyyah, didirikan pada tahun 1955
d. Madrasah Al-Sago (atau Al-Saqaf), didirikan pada tahun 1912 diatas tanah yang diwaqafkan oleh Sed Muhammad bin Sed Al-Saqof.
Pada kenyataannya, kemajuan sebuah Negara tidak lepas dari kondisi geografis dan keadaan pendidikannya. Pendidikan merupakan standarisasi penilaian secara tidak langsung yang dapat menjadi pertimbangan dalam mengkategorisasikan maju tidaknya sebuah Negara. Demikian pula halnya Negara Singapura, dilihat dari factor pendidikan tekanan bagi kaum muslim dan melayu di Singapura sungguh-sungguh nyata. Ini terlihat dari meningkatnya pendidikan dan kemajuan ekonomi yang telah dicapai orang-orang singapura lainnya khususnya orang-orang Cina yang mayoritas dinegara itu. Tekanan tersebut nampak nyata dalam tulisan-tulisan dan studi-studi yang dilakukan komunitas Muslim-Melayu sepanjang tahun 1980-an. Dilatarbelakangi sensus penduduk 1980 yang menyatakan bahwa orang-orang Melayu Singapura tertinggal di belakang etnis lain, dalam status social ekonomi, diskursus public kembali diaktifkan organisasi-organisasi muslim seperti Majlis Pusat untuk menggerakan pesan bahwa jalan keluar bagi kaum muslim adalah meningkatkan pendidikan dan kompetensi professional. Sejalan dengan seruan itu adalah himbauan dari pemimpin-pemimpin muslim dan aktifitas-aktifitas yang berorientasi islam agar menanggulangi status social ekonomi mereka dalam kerangka dan prinsip-prinsip islam.
Sejauh menyangkut masalah pendidikan walau sejak tahun 1970-an pesan pentingnya pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) sebagai katalis bagi kehidupan yang lebih layak bagi etnis melayu telah disuarakan oleh organisasi-organisasi Melayu, kembali di intensifkan pada tahun 1981. Pada tahun itu pula didirikan majelis pendidikan anak-anak (MENDAKI) yang mengarahkan kegiatannya pada masalah pendidikan bagi anak-anak muslim. Pemimpin melayu muslim sangat berhasil dalam menarik dukungan yang besar, bukan hanya dari perhimpunan-perhimpunan atau kelompok-kelompok Melayu-muslim, tapi juga dari pemerintah. Status majlis itu kemudian meningkat menjadi yayasan tahun 1982 setelah majelis sukses melaksanakan ‘Kongres tentang Pendidikan Anak-Anak Muslim’, suatu kesempatan dimana Perdan Menteri menyampaikan suatu key note addres.
Disamping itu pembentukan MENDAKI juga mempercepat kehadiran dan publikasi bahan-bahan dan karya-karya yang terkait dengan pendidikan bagi minoritas di Singapura. Walaupun karya-karya dalam bentuk buku masih langka, tersedia makalah-makalah yang disajikakan dalam seminar dan konferenai-konferensi dan artikel-artikel yang dipublikasikan oleh MENDAKI dan lembaga-lembaga muslim lainnya seperti MUIS dan JAMIYYAH. MENDAKI misalnya, menerbitkan a collection of mendake papers (1982), suatu kompilasi dari sekitar sepulus proyek yang mencakup bermacam-macam masalah yang berkaitan dengan pendidikan bagi kaum muslim, dan MUIS menerbitkan jurnal yang pertama kali tentang masalah-masalah kaum muslim di Singapura, fajar islam tahun1988. fajar islam diterbitkan, menurut editornya, dengan tujuan untuk memahami perkembangan social ekonomi dan politik yang mempengaruhi kaum muslim Singapura dan menelaahnya secara cermat, obyektif dan analitik.
Mencermati masalah keterpurukan pendidikan minoritas muslim (Melayu) dari etnis Cina (non islam lain) di Singapura, terlihat bahwa etnis Cina cenderung memiliki prestasi pendidikan, dimana dengan terdapatnya halangan dan rintangan dalam pencapaian stabilitas sosio ekonomi seseorang individual melalui pendidikan Singapura periode 1959-1980, dimana kondisi ekonomi etnis Cina memang sudah mapan sebelum perang, akan diwarisi anak-anak mereka, sehingga pendidikan mereka juga cenderung lebih tinggi dan lebih mapan, ditambah lagi basis bahasa inggris yang mereka kuasai.
Hal semacam ini, justru terdapat bagi kebanyakan etnis melayu (muslim), karena pada periode 1960-1970 an, 60% perhasilan perkapital penduduk melayu tergolong ekonomi lemah (rendah), sementara Cina hanya 40% terkategorikan penduduk miskin.
Kondisi dan akta ini, tentunya tercermin pula dalam penyaluran pendidikan di antara anak-anak muslim dengan etnis cina dalam rangka memasuki sekolah menengah. Pada tahun 1983 60% pelajar-pelajar melayu disalurkan kealiran sekolah rendah (biasa), sedangkan etnis cina sebanyak 40%.
Hal semacam ini, justru terdapat bagi kebanyakan etnis melayu (muslim), karena pada periode 1960-1970 an, 60% perhasilan perkapital penduduk melayu tergolong ekonomi lemah (rendah), sementara Cina hanya 40% terkategorikan penduduk miskin.
Kondisi dan akta ini, tentunya tercermin pula dalam penyaluran pendidikan di antara anak-anak muslim dengan etnis cina dalam rangka memasuki sekolah menengah. Pada tahun 1983 60% pelajar-pelajar melayu disalurkan kealiran sekolah rendah (biasa), sedangkan etnis cina sebanyak 40%.
Selain jurang ekonomi yang mempengaruhi semua penduduk singapura terdapat factor lain yang unik kepada orang melayu dan menyababkan merekan lebih rugi dari pada orang cina. tahun 1965, kurang lebih 50% pelajar melayu mendaftarkan diri dalam program pendidikan yang diajar dalam bahasa melayu. Sungguhpun pendidikan inggris cepat sekali menjadi popular setelah kemerdekaan singapura dari Malaysia pada 1965, para pelajar yang mulanya berbasis melayu, terpaksa mengundurkan diri. Sedangkan para pelajar melayu yang layak dan cukup kredibel dalam memasuki pendidikan menengah dipindahkan kealiran inggris dimana merekan tidak mempunyai persediaan dan kesiapan dari segi bahasa. Bagi sebagian kecil pelajaran Melayu yang layak ke Universitas banyak yang bingung dalam mengambil atau memperdalamilmu mereka melalui kursus-kursus professional dan sains yang semuanya diajar dalam bahasa inggis. Mereka sama sekali tidak diperkenangkan untuk mengambil kursus-kursus itu, sehingga ketika mereka telah tamat dari Universitas dan ingin berkerja dengan melamarkan Ijazah yang mereka peroleh, sering kali peluang bagi para siswa aliran Melayu mendapat perlakuan yang kurang adil. Hal ini sebenarnya juga dialami oleh etnis Cina, mereka juga diperlakukan sebagaimana etnis Melayu, akan tetapi keunggulan Cina dari Melayu adalah mereka memiliki alternalif yang dapat menjembatani anak-anak mereka untuk bekerja di sektor-sektor ekonomi yang menggunakan bahasa Cina.
Selain faktor-faktor ekonomi yang etnis yang menjelaskan prestasi pelajar-pelajar Melayu dibidang pendidikan kiranya masih perlu dikaji menurut golongan etnis apakah kelemahan prestasi pendidikan pelajar-pelajar Melayu berbeda jauh dari orang-orang Cina yang berpuncak dari factor-faktor dalam budaya melayu sendiri. Dikalangan setengah elit Melayu pemerintah dan orang Cina sungguh-sungguh percaya bahwa orang melayu kurang kuat berkerja dan kurang berorientasikan pencapaian dalam pendidikan dan dalam ekonomi secara umum dari pada orang Cina. Nilai-nilai budaya yang tidak sesuai adalah sebab kenapa prestasi pendidikan dan ekonomi mereka lemah.
Budaya orang Cina dan budaya Melayu memiliki perbedaan dalam menata pola urusan rumah tangga. Dalam budaya Cina, nilai pendidikan bagi anak sangat dijunjung tinggi. Oleh karenanya pendidikan anak-anak mereka harus diutamakan dan diperhatikan secara serius, walau anak juga dilibatkan dalam urusan usaha menghasilkan uang atau peningkatan ekonomi keluarga. Mungkin hal ini pula yang memicu semangat orang-orang Cina untuk lebih berdikari dan lebih tinggi semangat kemandiriannya jika dibandingkan dengan orang-orang Melayu. Semangat kerja ini, akhirnya mendarah daging dalam menempuh jalur pendidikan sehingga dibidang pendidikan pun, etnis Cina terlihat lebih unggul dari pada etnis melayu.
Budaya orang Cina dan budaya Melayu memiliki perbedaan dalam menata pola urusan rumah tangga. Dalam budaya Cina, nilai pendidikan bagi anak sangat dijunjung tinggi. Oleh karenanya pendidikan anak-anak mereka harus diutamakan dan diperhatikan secara serius, walau anak juga dilibatkan dalam urusan usaha menghasilkan uang atau peningkatan ekonomi keluarga. Mungkin hal ini pula yang memicu semangat orang-orang Cina untuk lebih berdikari dan lebih tinggi semangat kemandiriannya jika dibandingkan dengan orang-orang Melayu. Semangat kerja ini, akhirnya mendarah daging dalam menempuh jalur pendidikan sehingga dibidang pendidikan pun, etnis Cina terlihat lebih unggul dari pada etnis melayu.
3. Sosial Budaya
Sebuah tesis Ph.d oleh Betts, seorang ahli sains politik Amerika, mengklaim bahwa masyarakat melayu gagal untuk merubah dirinya sebelum tahun 1959. Ia menuliskan bahwa banyak perkara tentang cara hidup orang melayu diakui umumnya tidak selaras dengan keadaan dan kemajuan yang pesat di Singapura. Disisi lain, factor-faktor intrinsic dalam masyarakat Melayu menghalangi penerimaan ataupun internalisasi secara pesat akan perubahan. Dia menganggap bahwa kampung-kampung dipinggiran Singapura pada Hakikatnya bersifat perdesaan. Faktanya Banyak orang melayu yang merasa puas hanya dengan bermata pencarian menangkap ikan, bertani, dan aktivitas lain yang bercorak tradisional tanpa mempedulikan perkembangan zaman.
Hal senada juga diungkapkan oleh Badlington dalam desertasinya (1974) bahwa masyarakat Melayu belum dapat merubah dirinya sebelum tahun 1959. Masyarakat melayu selalu dihalangi oleh kekangan-kekangan budaya yang mendefinisikan menurut garis etnis. Orang bukan Melayu telah bejaya memutuskan diri sama sekali dari pada kokongan tradisi yang menghalang pembangunan ekonomi, akan tetapi masyarakat Melayu terus terpengaruh oleh gerak budaya yang bertentangan. Badlington juga menjelaskan bahwa pandangan orang Melayu tentang rezeki mengakibatkan fatalisme (menyerah pada takdir) dan tidak ada usaha untuk meraihnya.
Bagi Badlington, kaum-kaum lain di Singapura telah berubah sedangkan orang melayu tinggal beku dan tinggal sejarah, dikekang oleh nilai-nilai budaya mereka. Nilai-nilai yang dibincangkan oleh Badlington terdiri hanya dari pada yang dianggapnya sebagai negative bagi kemajuan orang Melayu. Nilai-nilai ini digambarkan sebagai cirri-ciri budaya yang kekal dan diretifikasi secara abstrak dari pada konteks social dan materialnya
Menanggapi isi dari pada desertasi Badlington, yang secara umum memarginalkan kertepurukan ekonomi orang Melayu dilatarbelakangi oleh adanya budata yang kaku dan katalis yang nota bene bersumber dari syariat Islam berupa Al-Qur’an dan Hadist, perlu disanggah keabsahannya. Justru sebenarnya penjelasan-penjelasan kemunduran Melayu bukan semata-mata berasal dari sumber budaya Melayu yang juga melibatkan tafsiran Al-Qur’an. Akan tetapi juga berasal dari diskriminasi dan perbedaan kesempatan yang diberikan kepada orang Melayu dan etnis Cina pada awal 1970-an.
Memang harus diakui bahwa mundurnya social budaya orang Melayu dan minimnya semangat untuk bekerja, khususnya menyoroti kaum wanitanya disebabkan masih dangkalnya pemikiran dan interfretasi umat dalam memahami syariat. Khususnya tafsiran yang salah kaprah terhadap Islam, dimana pada masa ini banyak sikap pasif terhadap agama yang dilihat orang Melayu sebagai menjamin masa depan tanpa perlu berusaha, cukup menyerah pada takdir dan usaha untuk mengembangkan karir hidupnya, hanya dengan mencukupi biaya hidup dalam jangka pendek. Namun disisi lain, pada kenyataannya, banyak surat kabar di Singapura yang sengaja menggemborkan keterpurukan ekonomi dan social budaya Melayu identik dengan perdesaan. Publikasi yang diedarkan oleh berbagai surat kabar seperti The Miror dan Akhbar Kebangsaan dalam terbitan utamanyamenegaskan bahwa Melayu kedesaan sifatnya. Isu-isu negative dari surat kabar ini, akhirnya dibantah oleh sebuah penerbitan khas keluaran Majelis Hal-Ehwal Islam yang menandaskan bahwa kenyataannya orang-orang melayu banyak yang memiliki propesi tinggi di perkotaan, bukan hanya sebatas nelayan, tukan kebun dan pekerjaan-pekerjaan perdesaan lainnya.
Memang harus diakui bahwa mundurnya social budaya orang Melayu dan minimnya semangat untuk bekerja, khususnya menyoroti kaum wanitanya disebabkan masih dangkalnya pemikiran dan interfretasi umat dalam memahami syariat. Khususnya tafsiran yang salah kaprah terhadap Islam, dimana pada masa ini banyak sikap pasif terhadap agama yang dilihat orang Melayu sebagai menjamin masa depan tanpa perlu berusaha, cukup menyerah pada takdir dan usaha untuk mengembangkan karir hidupnya, hanya dengan mencukupi biaya hidup dalam jangka pendek. Namun disisi lain, pada kenyataannya, banyak surat kabar di Singapura yang sengaja menggemborkan keterpurukan ekonomi dan social budaya Melayu identik dengan perdesaan. Publikasi yang diedarkan oleh berbagai surat kabar seperti The Miror dan Akhbar Kebangsaan dalam terbitan utamanyamenegaskan bahwa Melayu kedesaan sifatnya. Isu-isu negative dari surat kabar ini, akhirnya dibantah oleh sebuah penerbitan khas keluaran Majelis Hal-Ehwal Islam yang menandaskan bahwa kenyataannya orang-orang melayu banyak yang memiliki propesi tinggi di perkotaan, bukan hanya sebatas nelayan, tukan kebun dan pekerjaan-pekerjaan perdesaan lainnya.
Bila diteliti pula tentang budaya Melayu yang ingin menjalin antara etnis, biasanya perkawinan yang dianggap paling selaras adalah pekawinan antara dua komponen yang berbeda suku namun masih dalam satu agama. Perkawinan semacam ini dianggap selaras atau sekupu, karena antara dua belah pihak masih memiliki satu visi dan misi, seiman dan seagama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
4. Politik
Mencermati akar persoalan yang sering muncul dikalangan minoritas muslim, mengingat serangkaian konflik antara pihak minoritas dengan mayoritas biasanya terletak pada tarik-menarik kepentingan di tingkat politik. Umat Islam pada umumnya menyakini bahwa agama mereka diturunkan oleh tuhan untuk mengatur kehidupan umat manusia baik ditingkat individu maupun kolektif. Oleh sebab itu, umat Islam Singapura menginginkan agar pendirian sebuah partai disesuaikan dengan kepentingan-kepetingan berdasarkan keyakinan dan keimanan yang dipegangi bersama, yang di yakinin memancarkan identitas, kesatuan, dan solidaritas kepada sesame muslim.
Ada dua partai politik yang berdasarkan etnis melayu yaitu Persatuan Melayu Singapura dan Pertumbuhan Kebangsaan Melayu-Singapura. Namun dalam perjalanannya, kedua partai ini tidak mendapatkan tempat dihati pemilih, temasuk dimayoritas Melayu-Muslim sendiri. Partai yang berbasis agama dan etnis di Singapura tidak dapat berkembang dengan baik, apalagi berharap menjadi pemenang. Selama ini, hanya PAP lah partai politik utama masyarakat melayu Muslim Singapura. Dalam konteks politik yang lebih luas, melayu Muslim belum mendapatkan refresentasi politik sesuai dengan keinginan mereka. Sampai saat ini, hanya satu anggota cabinet yang berasal dari kelompok Islam dan amat minim yang bisa duduk di parlemen, akibat dari pemerataan penduduk Melayu-Muslim dengan Cina sehingga sulit bagi muslim untuk menjadi calon anggota legeslatif. Secara umum dapat dikatakan bahwa, dari sisi politik, Muslim Singapura masih menyisakan persoalan. Namun demikian, dilihat dari realitas yang terjadi di tengah masyarakat, isu politik boleh dikatakan tidak terlalu menarik bagi mereka, karena mereka berada pada posisi minoritas. Strategi perjuangan politis masih dianggap belum dapat membawa banyak keuntungan bagi masa depan mereka.
Ada dua partai politik yang berdasarkan etnis melayu yaitu Persatuan Melayu Singapura dan Pertumbuhan Kebangsaan Melayu-Singapura. Namun dalam perjalanannya, kedua partai ini tidak mendapatkan tempat dihati pemilih, temasuk dimayoritas Melayu-Muslim sendiri. Partai yang berbasis agama dan etnis di Singapura tidak dapat berkembang dengan baik, apalagi berharap menjadi pemenang. Selama ini, hanya PAP lah partai politik utama masyarakat melayu Muslim Singapura. Dalam konteks politik yang lebih luas, melayu Muslim belum mendapatkan refresentasi politik sesuai dengan keinginan mereka. Sampai saat ini, hanya satu anggota cabinet yang berasal dari kelompok Islam dan amat minim yang bisa duduk di parlemen, akibat dari pemerataan penduduk Melayu-Muslim dengan Cina sehingga sulit bagi muslim untuk menjadi calon anggota legeslatif. Secara umum dapat dikatakan bahwa, dari sisi politik, Muslim Singapura masih menyisakan persoalan. Namun demikian, dilihat dari realitas yang terjadi di tengah masyarakat, isu politik boleh dikatakan tidak terlalu menarik bagi mereka, karena mereka berada pada posisi minoritas. Strategi perjuangan politis masih dianggap belum dapat membawa banyak keuntungan bagi masa depan mereka.
Peranan MUIS dalam Perkembangan Islam di Singapura.
Dimensi perkembangan Islam itu yang cukup menggembirakan, terutama dalam hal manajemen profesionalisme dalam hal pengelolaan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZIS wakaf). Di Singapura, sebagaimana dijelaskan oleh kepala Divisi Pembangunan Agama dan Penelitian, Majlis Ulama Islam Singapura (MUIS), Zalman Putra Ahmad Ali, pengelolaan ZIS wakaf, diperuntukkan bagi pemerataan dan kesejahteraan umat Islam. "Pemberdayaan amanat agama ini tidak akan mencapai target maksimal jika tidak dikelola secara profesional," jelas Zalman kepada Republika. MUIS sendiri sebagai lembaga tertinggi pemerintah untuk Hal Ehwal Islam (setingkat kementerian agama di Indonesia), memang bertanggung jawab dan ikut mengelola langsung pengelolaan ZIS wakaf, sehingga dapat mengetahui secara pasti pelaksanaannya. Sistem manajemen profesioanl yang diterapkan oleh MUIS ini telah diterapkan lebih dari 10 tahun terakhir. Dalam pembayaran ZIS misalnya, tidak lagi secara manual, dengan cara pergi ke tempat penyaluran atau lembaga yang dipercaya, tapi sejak dua tahun terakhir pembayarannya dapat dilakukan melalui sistem on-line, seperti manajemen bank.
Dengan cara demikian akan diketahui seluruh dana yang terhimpun saat itu juga. Sementara untuk wakaf, telah lima tahun lebih dikelola dengan sistem wakaf produktif. Harta benda dari wakaf dikelola dengan azas manfaat, bukan lagi untuk pembangunan masjid atau kuburan, sebagaimana di Indonesia. Misalnya, dana wakaf dipakai untuk pembangunan real estate atau supermarket atau usaha lainnya yang menguntungkan. Keuntungannya kemudian dipakai lagi untuk pengembangan Islam. Di sini, jangan dikira ada kesempatan penyelewengan. Sebab, jika terbukti melakukan korupsi, misalnya terhadap dana ZIS atau wakaf, maka hukuman yang sangat beratlah imbalannya. Memang di Singapura penegakan hukum cukup bagus, dan tingkat KKN-nya sangat minim. Berkaitan dengan ZIS ini, menurut Zalman, rata-rata dana ZIS setiap tahunnya terkumpul berkisar 18-20 juta dolar Singapura (sekitar 10 dolar AS). Khusus pegawai di MUIS, digaji dari dana zakat tersebut. Sementara itu, dana bagi pengembangan masjid dan madrasah, ada kasnya sendiri. Tidak lagi diambilkan dari dana ZIS wakaf tersebut. Untuk madrasah ada kotak bernama "Dana Madrasah". Sedangkan dana masjid diperoleh dari sumbangan kaum muslim, khususnya kotak Jumat. Meski juga terkadang masih dapat bantuan dari dana ZIS wakaf.
Madrasah, Masjid, Dan Lsm
Manajemen profesionalitas dalam pemberdayaan potensi dan peningkatan kualitas umat bukan hanya terlihat pada aspek ZIS wakaf. Ia juga tampak jelas dalam pengelolaan pendidikan (madrasah), masjid, dan lembaga-lembaga swadaya Islam non-pemerintah (NGO). Lembaga pendidikan Islam (madrasah) dikelola secara modern dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak. Dari seluruh madrasah Islam (sebanyak enam buah, seluruhnya di bawah naungan MUIS), sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Keenam madrasah itu adalah madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, madrasah Al-Maarif Al-Islamiah, madrasah Alsagoff Al-Islamiah, madrasah Aljunied Al-Islamiah, madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah.
Waktu penyelenggaraan belajar mengajar dimulai dari pukul 08.00 hingga 14.00. Lama waktu ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum dan non-madrasah. Agar tidak ketinggalan dengan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio converence. Selain dilengkapi fasilitas internet, setiap madrasah juga mempunyai server tersendiri bagi pengembangan pendidikan modern. "Murid dibiasakan dengan teknologi, terutama teknologi internet. Setiap hari, mereka diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet," jelas Mokson Mahori, Lc, guru di madrasah Al Junied Al Islamiyah. Sayangnya, pendidikan Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah (SMU). Untuk perguruan tingginya hingga kini belum ada.
Manajemen yang sama juga diterapkan dalam pengelolaan masjid. Tidak seperti yang dipahami selama ini, bahwa masjid hanya sebatas tempat ibadah mahdhoh an sich (shalat lima waktu dan shalat Jumat). Tetapi, masid di negeri sekuler ini, benar-benar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah, sebagai pusat kegiatan Islam.
Saat ini di Singapura terdapat 70 masjid. Selain tempatnya yang sangat bersih dan indah, juga di ruas kanan dan kiri disetiap masjid terdapat ruangan-ruangan kelas untuk belajar agama dan kursus keterampilan. Berbagai disiplin ilmu agama diajarkan setiap siang dan sore hari. Kegiatan ceramah rohani usai juga diajarkan usai shalat shubuh atau maghrib.
Aktivitas lainnya, diskusi berbagai masalah kontemporer dan keislaman. Diskusi ini biasanya diadakan oleh organisasi remaja di setiap masjid. Dewan pengurus setiap masjid juga menerbitkan media (majalah dan buletin) sebagai media dakwah dan ukhuwah sesama muslim. Berbeda dengan di negara lainnya, para pengurus masjid digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif laiknya perkantoran modern.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan muslim dan komunitas Islam negeri itu potret yang maju dan progresif. Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riil masyarakat muslim.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan muslim dan komunitas Islam negeri itu potret yang maju dan progresif. Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riil masyarakat muslim.
Saat ini, tidak kurang dari sepuluh LSM, di antaranya adalah: Association of Muslim Professionals (AMP), Kesatuan Guru-Guru Melayu Singapura (KGMS), Muslim Converts Association (Darul Arqam), Muhammadiyah, Muslim Missionary Soceity Singapore (Jamiyah), Council for the Development of Singapore Muslim Community (MENDAKI), National University Singapore (NUS) Muslim Society, Perdaus (Persatuan dai dan ulama Singapura), Singapore Religious Teachers Association (Pergas), Mercy Relief (Center for Humanitarian), International Assembly of Islamic Studies (IMPIAN), dan Lembaga Pendidikan Alquran Singapura (LPQS).
Seluruh lembaga dan sistem manajemen profesional ini ditujukan bukan saja pada terbentuknya kualitas muslim dan komunitas Islam yang maju, moderat dan progresif, tetapi juga potret yang mampu berkompetisi dan meningkatkan citra Islam di tengah pemandangan global yang kurang baik saat ini. Model demikian inilah yang kini terus diperjuangkan agar Islam yang rahmat menjelma dalam kehidupan masyarakat Singapura
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Munzir Hitami, 2006, “ Sejarah Islam Asia Tenggara”, Alaf Riau, Pekanbaru.
2. Http://Komunitaswakaf.Org/Web
3. Zuhairini, dkk. 1994, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar